Twitter, Bahasa dan Pertarungan Wacana
Twitter telah menjadi ruang strategis untuk komunikasi publik, membentuk wacana sosial, politik, dan budaya secara langsung. Di antara kompleksitas demokrasi pasca-Reformasi di Indonesia dan perkembangan teknologi, Twitter berperan sebagai arena tempat publik dan elite bertemu, memperdebatkan isu-isu terkini, serta memproduksi makna dan identitas kolektif. Dalam konteks Indonesia, dinamika bahasa dan wacana di Twitter tidak hanya mencerminkan ekspresi bebas, tetapi juga memperlihatkan relasi kekuasaan, resistensi, dan manipulasi dalam ruang digital.
Bahasa dan Ekspresi Singkat
Keterbatasan 280 karakter mendorong pengguna Twitter untuk mengembangkan cara-cara kreatif dalam berbahasa. Mereka memadukan bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa gaul dalam bentuk yang efisien, seperti melalui penggunaan singkatan (wkwk, btw), meme, emoji, hingga tagar (#). Variasi bahasa ini menunjukkan bahwa komunikasi di Twitter bersifat hybrid dan intertekstual, melibatkan berbagai konteks budaya dan lokal.
Contoh fenomena yang menarik adalah munculnya frasa seperti “mager,” “ngegas,” atau “santuy,” yang awalnya populer di Twitter lalu menyebar ke ranah sosial lebih luas. Penggunaan tagar seperti #2024GantiPresiden atau #Jokowi2Periode juga memperlihatkan bagaimana bahasa Twitter dapat berfungsi sebagai alat mobilisasi politik, menciptakan narasi dan mengikat audiens dalam identitas kolektif.
Twitter juga memungkinkan voice bagi komunitas minoritas untuk mempromosikan identitas dan isu mereka. Tagar seperti #PapuanLivesMatter dan #SaveKPK menjadi contoh bagaimana bahasa digunakan sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan. Dalam hal ini, Twitter berperan sebagai ruang digital bagi bahasa resistif dan narasi alternatif, membuka peluang bagi publik untuk menantang wacana arus utama.
Twitter dan Wacana Politik
Dalam teori wacana Foucault, wacana bukan hanya tentang apa yang dibicarakan, tetapi juga bagaimana kekuasaan beroperasi melalui narasi yang dianggap sah. Di Indonesia, Twitter telah menjadi ruang penting bagi elite politik dan masyarakat untuk membangun narasi dominan. Saat kontestasi politik berlangsung, misalnya dalam Pilpres 2014 dan 2019, Twitter menjadi ajang perang narasi antara kubu-kubu politik yang memperebutkan legitimasi publik.
Wacana politik di Twitter sering kali bersifat dualistik dan memecah masyarakat menjadi kelompok-kelompok dengan identitas politik yang jelas. Fenomena seperti buzzer politik memperlihatkan bahwa wacana di Twitter tidak selalu muncul secara organik, tetapi dapat direkayasa untuk membentuk persepsi publik dan mendiskreditkan lawan politik. Kampanye politik menggunakan bot atau akun anonim untuk mendiseminasi konten provokatif, memperlihatkan bagaimana teknologi dan kekuasaan bekerja secara simultan untuk memanipulasi ruang wacana digital.
Namun, Twitter juga menawarkan ruang bagi counter-discourse. Aktivis dan jurnalis menggunakan platform ini untuk membongkar kebohongan publik, mengadvokasi kebebasan sipil, dan memobilisasi aksi sosial. Gerakan #ReformasiDikorupsi pada 2019 adalah contoh bagaimana Twitter memungkinkan wacana resistif berkembang dengan cepat dan terkoordinasi, menjadi alat penting untuk menekan kekuasaan.
Bahasa Performatif dan Identitas
Konsep performativity dari Judith Butler membantu kita memahami bagaimana identitas sosial dibentuk dan dipertahankan melalui bahasa di Twitter. Di Indonesia, Twitter adalah arena performatif di mana pengguna membangun dan mempertahankan identitas politik, sosial, dan budaya mereka. Seseorang yang ingin diidentifikasi sebagai aktivis, misalnya, dapat menampilkan persona kritis dan progresif melalui tweet yang konsisten dengan isu-isu sosial. Di sisi lain, figur publik, seperti selebriti atau politikus, menggunakan Twitter untuk memperkuat citra mereka dan berinteraksi langsung dengan publik.
Namun, dinamika identitas di Twitter juga rentan terhadap konflik dan misinterpretasi. Fenomena cancel culture atau budaya pembatalan di Indonesia menunjukkan bagaimana publik dapat dengan cepat menghukum seseorang atas tweet yang dianggap bermasalah atau tidak sesuai dengan norma sosial. Pada titik ini, Twitter bukan hanya ruang ekspresi, tetapi juga arena moral di mana masyarakat memutuskan siapa yang layak didengar atau dikucilkan.
Ekonomi Afeksi dan Algoritma: Siapa yang Mendominasi Wacana?
Twitter bukan hanya soal interaksi sosial, tetapi juga terkait dengan ekonomi perhatian (attention economy). Algoritma Twitter mendorong konten yang mendapat banyak keterlibatan (likes, retweet, dan komentar), menciptakan pola di mana konten yang bersifat emosional, kontroversial, atau provokatif memiliki peluang lebih besar untuk viral. Hal ini menjelaskan mengapa narasi-narasi yang bersifat konflikual, seperti perdebatan politik atau sentimen agama, sering mendominasi linimasa.
Selain itu, pengguna dengan jumlah pengikut tinggi—baik tokoh publik, akun media, atau buzzer politik—memiliki akses lebih besar untuk mempengaruhi wacana publik. Dengan demikian, meskipun Twitter terlihat demokratis, kekuasaan tetap terdistribusi secara tidak merata. Algoritma dan keterlibatan emosional memperkuat asimetri ini, memungkinkan segelintir aktor untuk mengontrol percakapan dan menciptakan narasi dominan.
Manipulasi Wacana dan Tantangan Moderasi Konten
Di Indonesia, moderasi konten di Twitter menghadapi dilema antara kebebasan berekspresi dan kontrol atas disinformasi. Meskipun platform ini memungkinkan terjadinya percakapan terbuka, ia juga rentan terhadap penyebaran hoaks dan ujaran kebencian. Selama Pilpres dan pandemi COVID-19, misinformasi beredar luas di Twitter, mempengaruhi opini publik dan bahkan kebijakan pemerintah.
Twitter berupaya memoderasi konten melalui penghapusan akun atau pemberian label pada informasi yang salah, tetapi efektivitasnya masih dipertanyakan. Selain itu, regulasi seperti UU ITE di Indonesia menjadi tantangan bagi kebebasan berekspresi, di mana kritik terhadap pemerintah bisa berujung pada kriminalisasi. Dengan demikian, wacana di Twitter berada dalam ketegangan antara kebebasan dan kontrol, antara demokrasi digital dan sensor.
Twitter sebagai Arena Wacana
Twitter bukan sekadar platform komunikasi, tetapi arena penting dalam pembentukan wacana sosial dan politik. Di dalamnya, bahasa berfungsi sebagai alat ekspresi, identitas, dan kekuasaan, mencerminkan dinamika sosial yang kompleks. Meskipun Twitter memungkinkan terjadinya percakapan terbuka dan resistif, platform ini juga memperlihatkan batasan-batasan yang diakibatkan oleh algoritma, buzzer politik, dan moderasi konten.
Dalam konteks Indonesia, Twitter menawarkan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan wacana, tetapi juga mengungkapkan risiko manipulasi dan kontrol. Dengan demikian, memahami dinamika bahasa dan wacana di Twitter penting untuk melihat bagaimana makna dan kekuasaan bekerja dalam era digital ini. Twitter adalah cermin dari masyarakat Indonesia: penuh dengan kebebasan, namun dibayangi oleh kekuasaan dan konflik, mencerminkan perjuangan berkelanjutan antara ekspresi, kontrol, dan perubahan sosial.