Tentang Pergantian
Rasanya, tangan saya semakin kaku untuk menuangkan tulisan sebagai refleksi dari beberapa tahun ke belakang. Sudah sangat lama halaman blog ini sepi, kosong tanpa dihiasi tulisan yang, jika ada, hanya muncul setahun sekali. Terlalu naif rasanya jika saya tidak mengaitkan kekosongan tulisan ini dengan masalah sistemik yang harus dihadapi untuk mengejar kebutuhan produksi. Penulis macam apa saya ini, sungguh sialan.
Ketika seorang nyonya Belanda tiba di Jawa pada akhir abad ke-19, ia berusaha keras mempertahankan rutinitasnya yang khas — roti panggang yang renyah, gaun putih yang anggun untuk dikenakan di rumah, serta juru masak yang mahir untuk menyajikan hidangan sesuai selera. Bahkan sang suami, seorang tentara KNIL yang tugasnya hanya menjaga loji, merasa seperti sedang bertaruh raga. Mereka harus bertahan dalam negeri yang dianggap gersang, di tengah penduduk yang masih terbelakang, tak beralas kaki dan tak mengenal pusat perbelanjaan atau teater karena modernitas kapitalis baru saja memulai jejaknya di tanah koloni ini.
Inilah gambaran yang saya rasakan beberapa tahun lalu. Ketika bacaan karya-karya Benedict Anderson, film dokumenter Joshua Oppenheimer tentang pengakuan genosida dan diskusi tentang pemikiran pascamodern terasa jauh dan samar. Dalam dua tahun terakhir, saya terjerat dalam jalinan kehidupan urban kapitalistik, terjerat dalam rutinitas yang terus menerus mengejar kebutuhan produksi. Hidup terasa teralienasi, dalam upaya mengejar kapital agar mampu bertahan di tengah kompetisi pasar tenaga kerja yang kian semakin ketat dan biaya hidup yang kian meroket.
Sekarang, saya merenungkan tentang pergantian. Pergantian ini bukan sekadar pergeseran ide menuju realitas, melainkan sebuah metamorfosis yang tertulis dalam hitam di atas putih. Bagaimana mungkin seseorang yang dahulu menghabiskan lima jam sehari untuk membaca buku kini hanya bisa menyelami beberapa kalimat dalam dua hingga tiga hari? Ini adalah tentang pergantian — sebuah perubahan orientasi dalam tanggung jawab terhadap kebutuhan dasar diri manusia dalam berproduksi.
Seandainya dahulu saya tidak membagi waktu antara mencari nafkah dan berkuliah, mungkin saya akan menjadi seorang akademisi yang terjerat dalam kekurangan biaya. Dalam penelitian akhir saya mengenai makanan tapol di Pulau Buru, beban biaya yang harus ditanggung begitu besar — biaya transportasi, konsumsi, santunan untuk narasumber, dan segala kebutuhan lainnya. Semua ini adalah ongkos penelitian yang harus saya penuhi sendiri. Inilah salah satu contoh bentuk kebutuhan saya terhadap produksi, produksi pengetahuan.
Banyak kebutuhan lain yang sangat mendasar. Dalam hal ini, analisis yang menyatakan bahwa wacana politik atau pengetahuan baru hanya dapat terwujud bila hasrat dasar telah terpenuhi, benar adanya. Mungkin suatu hari nanti, hobi saya dalam aktivisme politik dan penjelajahan pengetahuan di institusi pendidikan akan bangkit kembali. Semua ini adalah tentang pergantian tapi janganlah terus menerus seperti penulis yang sialan.