Seks, Erotisme dan Moralitas dalam Naskah-naskah Jawa
Dalam kehidupan sehari-hari seksualitas merupakan hal yang jarang dibahas karena masih banyak yang beranggapan bahwa konsep “seks” sangat tabu. Padahal dalam ranah akademik hal itu sah-sah saja untuk dipelajari tentunya dengan sudut pandang yang ilmiah. Hal tersebut termasuk juga dalam rumpun humaniora yaitu sejarah. Kajian sejarah seksualitas akhir-akhir ini mulai mendapatkan banyak perhatian. Dapat dikatakan bahwa sejarah seksualitas termasuk dalam ranah kajian sejarah kesehatan karena konsep “seks” merujuk pada unit biologis.
Tulisan ini akan mencoba membedah sejarah pengetahuan seksualitas dalam budaya yang mana hal tersebut berimplikasi sebagai panduan moral bagi masyarakat Jawa dalam menjalankan praktik seksual. Tulisan ini diharapkan menjadi refleksi dan pemahaman bahwa pandangan Jawa tentang seksualitas berbeda dengan pandangan Jawa tentang gender.
Di Jawa sendiri kehidupan dan pengetahuan mengenai seksualitas masyarakat dapat dilihat dari naskah-naskah istana atau yang biasa disebut sejarawan sebagai historiografi tradisional. Naskah Serat Centhini (1814–1823) yang sering disebut sebagai kamasutra-nya Jawa, secara eksplisit memaparkan pengetahuan mengenai seksualitas mulai dari tata cara hingga penanggalan yang pas dalam melakukan hubungan seksual. Naskah yang ditulis oleh pujangga istana tersebut juga tidak segan memakai kalimat erotis dalam teksnya.
Dalam Serat Centhini (1814–1823) terlihat jelas pengetahuan masyarakat Jawa mengenai waktu yang pas dalam melakukan hubungan seksual. Menariknya perihal perhitungan hari dalam melakukan hubungan seksual dijelaskan pula tentang gerakan apa yang harus dilakukan.
“Lamun ayun pulang rêsmi | anuju tanggal sapisan | awit arasên bathuke | tanggal pindho awit ngaras | pupusêr tanggal tiga | wiwit mijêt wêntisipun | kanan kering karo pisan ||” yang artinya “Apabila hendak berulah asmara pada tanggal satu di daerah kening harus dilakukan cumbuan dengan mencium atau menjilat, tanggal dua di daerah puser, tanggal tiga di daerahbetis kanan dan kiri”.
Selain di Serat Centhini naskah-naskah lain banyak yang memberikan gambaran kehidupan dan pengetahuan seksualitas di Jawa masa lalu. Misalnya dalam Serat Nitimani pengetahuan tentang seksualitas dituangkan dengan rujukan sangat etis merujuk pada moralitas Jawa dalam melakukan hubungan seksual. Serat Nitimani secara etimologi berasal dari kata niti dan mani, dalam bahasa Jawa niti berarti pranatan atau pedoman sedangkan mani artinya wijining manungsa kang saka wong lanang artinya ‘benih manusia dari lakilaki’.
Naskah Serat Nitimani ditulis pada 1816 di istana lalu kemudian hal ini diubah kata-katanya oleh Raden Mas Arya Suganda pada 1821. Serat Nitimani (1816) sebagai rujukan moral bagi kehidupan seksualitas Jawa memberikan pedoman tentang keharusan melakukan hubungan seks dengan kondisi sadar dan bijaksana hal.
“Lamun tandhing, marsudya ing tyas ening, namrih ering, kang supadi tan kajungking.” Artinya “Bila sedang bertanding (berhubungan intim), usahakanlah hati tetap hening, agar konsentrasi terjaga, supaya tidak terkalahkan.” .
Selain memberikan pedoman tentang kondisi yang pas dalam melakukan hubungan seksual, serat ini juga memberikan pedoman tentang tempat yang pas dan etis dalam melakukan hubungan seksual. Menurut penulisnya dalam melakukan hubungan seksual sesuai kaidah norma Jawa, harus dilakukan di tempat yang sepi dan tidak boleh dilihat orang lain.
“Ingkang rumiyin nyariosaken tembung upami, wonten sujanma priya kaliyan wanodya, badhe dumugekaken karsa ngulang salulut sami lumebet ing jenem rum, tegesipun dunungin pasareyan, ing riku sandyana amung sakaliyan tur dumunung wonten papaning sepen, liripun boten katingalan dening tiyang kathah, ewa semanten menggah pepantenganing panggalih” catat Serat Nitimani.
Hal tersebut artinya, seperti yang dipaparkan dalam penelitian Nur Hanifah Insani, “Yang pertama, menceritakan kalimat seandainya ada manusia laki-laki dan perempuan berkeinginan bercinta, masuk ke dalam ranjang artinya berada di tempat tidur walaupun di situ hanya berdua dan juga berada di tempat yang sepi yang intinya tidak kelihatan orang banyak, walaupun begitu keseriusan perasaan janganlah sampai lupa”.
Dalam Serat Nitimani ditulis juga tentang kebersihan dalam melakukan seksualitas. Di dalam Serat Nitimani disebut, sebelum melakukan hubungan seksual wanita dan pria harus mandi bersih lalu kemudian memakai wangi-wangian terlebih dahulu. Selain kebersihan jasmani kebersihan seperti yang anjurkan Serat Nitimani sebelum hubungan intim juga merujuk pada kebersihan rohaniah, artinya hati kedua pasangan haruslah suci dan bebas dari kekotoran batiniah dan juga hubungan seksual juga harus ditunjukan sebagai ketaatan kepada Sang Pencipta.
Begitu banyak pedoman dalam melakukan seksualitas dalam Serat Nitimani. Misalnya keseriusan dalam melakukan hubungan intim hingga keseimbangan keinginan melakukan hubungan seksual antara kaum lakilaki dan perempuan. Hal-hal tentang seksualitas yang ditulis dalam Serat Nitimani intinya merupakan pedoman etis dalam melakukan hubungan seksual yang sesuai dengan norma dan moralitas budaya Jawa.
Naskah-naskah yang memuat gambaran pengetahuan seksualitas dan menggambarkan kehidupan seksualitas Jawa juga terkenal sangat sinkretis dalam menghubungkan mistisme, religi dan seksualitas. Dalam Babad Tanah Jawi dijelaskan tentang kehidupan seksual raja-raja Jawa, misalnya cerita tentang persenggamaan Panembahan Senopati dari Mataram dengan Ratu Pantai Selatan Nyi Roro Kidul yang konon hal itu dilakukan pada saat-saat Senopati ingin mendirikan negara Mataram. Selain itu Babad Tanah Jawi juga menceritakan perebutan wanita yang dilakukan oleh elite-elite politik aristokrat Jawa yang berujung pada pertempuran fisik.
Naskah yang menceritakan hubungan seksual antara manusia dengan makhluk halus bahkan hewan juga diceritakan dalam naskah Narasawan. Memang terkadang hal semacam ini tidak masuk akal dan berada di luar nalar manusia namun hal itu bukan berarti menutup kemungkinan. Menurut sejarawan dan filolog Adi Deswijaya, naskah ini ditulis pada 1930’an yaitu masa-masa kemelesetan. Dalam naskah ini diceritakan hubungan seksualitas manusia dengan makhluk halus seperti genderuwo. Naskah ini juga menceritakan hubungan seks manusia dengan hewan seperti kerbau dan kijang.
Diceritakan dalam naskah seorang remaja yang birahi kemudian melampiaskannya kepada kerbau betina. Memang kedengarannya hal ini aneh akan tetapi jika ditelaah secara etimologi Narasawan berasal dari kata nara atau buruk dan sawan yang artinya gila.
Jika kita analisis lebih lanjut tentunya hal ini bertentangan dengan moralitas dan norma seksual dalam budaya masyarakat Jawa seperti yang termuat dalam naskah Serat Centhini dan Serat Nitimani yang kita jelaskan sebelumnya. Mengapa hal ini terjadi? Mengapa ada suatu naskah yang menceritakan penyimpangan seksual di luar moralitas dan norma seksualitas Jawa? Apakah keraton yang menjunjung tinggi etika moral membiarkan naskah Narasawan yang penuh cerita penyimpangan seksual ini beredar?
Jika kita melihat penulis naskah ini orangnya adalah “orang luar keraton”, agaknya cukup asing penulis naskah berada dan berasal dari orang di luar keraton. Jika dipahami naskah ini ditulis oleh Cermapawira pada 1930’an. Pada masa-masa tersebut pengaruh para pujangga keraton sebagai penulis naskah mulai memudar seiring terjadinya westernisasi di kalangan istana. Akibatnya banyak pujangga-pujangga yang tidak terpakai dan melakukan penulisan di luar istana, termasuk konteks penulisan Narasawan.
Jika kita melirik gambaran penyimpangan seksualitas yaitu hubungan intim manusia dengan hewan dalam naskah tersebut dibalik benar atau tidaknya walau tidak menutup kemungkinan benar, perlu dipahami konteks ekologis saat itu. Pada 1930’an seperti yang dipaparkan Margana dalam Historia, terjadi perubahan lingkungan dan nila-nilai mengenai fauna. Pertanian dan perkebunan semakin luas saat itu sebagai upaya pemenuhan pangan, di sisi lain hewan-hewan pada saat itu banyak yang mengalami mutasi genetik.
Dalam koran-koran awal abad-20, banyak berita aneh tentang kelahiran hewan-hewan ternak yang bermutasi genetik. Isi dari naskah Narasawan tidak perlu diperdebatkan fiksi atau kenyataan biarkan hal tersebut menjadi cerita masa lalu yang terus meninggalkan jejak-jejak lampau. Akan tetapi yang jelas jika merujuk pada kondisi sosio-ekologis isi dalam naskah tersebut merupakan refleksi saat itu. Dan perihal isi penyimpangan seksual dalam naskah tersebut yang jauh dari etika moral seksualitas budaya Jawa, kita dapat pahami bahwa penulis naskah tersebut bukanlah orang pujangga keraton. Keraton tidak mungkin membiarkan teks naskah yang berisi penyimpangan seksual itu beredar atas nama keraton yang menjunjung tinggi adiluhung dan etika dalam suatu karya.
Seksualitas sebagai konsep yang tabu dalam kehidupan sehari-hari bukan berarti kita harus membiarkan hal itu tetap tabu apalagi membuatnya tabu juga dalam dunia akademik. Dalam ranah humaniora khususnya ilmu sejarah, kajian sejarah seksual yang biasa ditempatkan dalam ranah kajian sejarah kesehatan sudah seharusnya dikembangkan.
Banyak berbagai catatan penjelajah, dokumen pemerintah kolonial, koran dan naskah-naskah masa lalu dapat dijadikan sumber utama dalam merekonstruksi sejarah seksualitas. Interpretasi juga memainkan peranan kuat dalam hal ini, penafsiran atas sumber-sumber memerlukan pemahaman ‘jiwa zaman’ untuk mengetahui masyarakat dan kebudayaan dalam konteks zamannya. Diharapkan nantinya banyak sejarawan yang mengkaji sejarah seksualitas, sebagai produk pengetahuan seksual setiap masyarakat dan kebudayaannya dari waktu ke waktu.