Politik Film: Tokoh Agama dalam Film Horor era Orde Baru
Esai ini awalnya merupakan artikel ilmiah yang telah dimasukan pada satu tahun yang lalu ke dalam acara History Fair UI dan berhasil menuju babak final. Melihat pentingnya komunikasi sejarah ke masyarakat, maka saya di sini bertujuan untuk mempublikasikan artikel ilmiah yang berjudul asli Politik Film Horor Indonesia 1980–1995: Jawasentris, Agama, dan Kebijakan ke dalam blog pribadi.
Film merupakan perkembangan dari seni pertunjukan modern. Film menampilkan lakon atau cerita dalam tayangannya, lakon dalam film berjenis-jenis rupa-nya. Beragam lakon dalam film yang menggambarkan estetika kemudian diklasifikasikan menjadi genre. Genre film horor adalah genre yang sangat disukai masyarakat Indonesia, terlebih masyarakat menyukai hal-hal berbau metafisis. Di masa Orde Baru khususnya era 1980an, film horor mencapai puncak kejayaannya. Film-film horor di masa Orde Baru bangkit, terbukti dengan banyaknya jumlah film yang dimuat. Jumlah film horor di Indonesia pada era 1981–1991 tercatat terdapat 84 judul. Walau begitu, film di masa ini tidak bisa lepas dari unsur politik. Ada suatu setting dibelakang layar yang mengharukan adanya superioritas unsur agama terhadap mistisisme. Kemenangan ustaz terhadap kekuatan gaib dalam film horor di masa Orde Baru adalah suatu pola yang lazim. Selain itu, lekatnya budaya Jawa pada film horor di masa Orde Baru menimbulkan tanda tanya tersendiri?
Maka dari itu artikel ini menganalisis politik film horor di masa Orde Baru mulai dari analisis film, refleksi sosio-historis hingga faktor penentu adegan dalam layar kaca, yaitu kebijakan dan intrik politik para elite. Metodologi yang digunakan adalah metodologi sejarah yang terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Pendekatan antropologi dan ilmu politik sangat diperlukan sebagai bantuan analisa. Berbagai kekurangan dalam artikel ini cukup banyak, dan kami berusaha untuk menambalnya. Selain itu, objektivitas dalam kajian ini sepenuhnya kami usahakan. Maka kami tidak bermaksud menyinggung pihak yang bersangkutan.
Secara sistematika penulisan, kajian ini dibagi menjadi pendahuluan, tiga bagian dalam pembahasan dan epilog. Di bagian pertama dalam pembahasan akan dikemukakan analisis mengenai unsur-unsur budaya Jawa yang dominan dalam film. Di bagian kedua, akan dianalisis refleksi sosio-historis film-film horor 1980 an dan representasi kemenangan tokoh agama serta kekuataan religiusnya terhadap kekuatan mistisme abangan dalam lakon film. Di bagian ketiga akan dikemukakan bahwasannya terjadi penetrasi politik dalam film yang penuh dengan kepentingan stabilitas kekuasaan. Terakhir dalam bagian epilog akan dikemukakan kesimpulan dan renungan atas hasil pembahasan secara keseluruhan.
Pembahasan
Dominasi Budaya Jawa
Orde Baru sebagai rezim yang memiliki tujuan akan kemajuan dalam pembangunan selalu memusatkan Pulau Jawa sebagai tempat yang disejahterakan secara infrastruktur. Dampaknya ialah Pulau Jawa menjadi salah satu peradaban yang lebih maju di antara pulau lain hingga masa kini. Meski demikian, masyarakat Jawa (khususnya provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta) tidak serta merta meninggalkan adat dan budaya yang telah diwariskan oleh nenek moyang.
Hal ini terlihat dari kekentalan ritual kebudayaan yang tersinkretisasi dengan agama Islam, sehingga menghasilkan akulturasi antara agama Hindu, agama Islam (sebagai agama mayoritas) dengan adat istiadat masyarakat setempat[1]. Ritual kebudayaan pada masyarakat acapkali terdapat unsur mistis layaknya legenda-legenda makhluk halus yang jahat dan terkutuk, seperti penggunaan ilmu hitam.
Clifford Geertz dalam bukunya yang berjudul Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa mengklasifikasikan makhluk halus sesuai kepercayaan masyarakat Jawa menjadi lima jenis sesuai dengan sifat-sifatnya. Makhluk halus jenis pertama ialah memedi (dikenal juga sebagai hantu,sifatnya hanya menakut-nakuti dan tidak membahayakan. Contoh perwujudan yang termasuk dalam memedi diantaranya adalah gendruwo dan sundel bolong. Jenis makhluk halus kedua disebut sebagai lelembut yang kerap merasuki tubuh manusia dengan ragam efek samping setelahnya; menyebabkan sakit, kegilaan bahkan kematian. Makhluk halus kategori ketiga ialah tuyul. Kemudian, terdapat pula demit yaitu makhluk halus yang mendiami suatu tempat serta danyang yang merupakan arwah gentayangan dari tokoh setempat. Keduanya menolong manusia dalam mewujudkan keinginannya dengan imbalan-imbalan tertentu. Demit dan danyang acapkali dianggap sebagai jin yang melindungi tempat-tempat yang didiaminya[2]
Dalam studi film horor Indonesia era 1980 hingga 1995, kebudayaan masyarakat Jawa sering menjadi latar dari alur cerita yang dibawakan. Seperti jenis hantu, mantra-mantra yang digunakan, nama-nama yang diambil dari bahasa Jawa, hingga pakaian yang digunakan oleh masing-masing tokoh. Seperti pada film Sundel Bolong (1981), pada permulaan film, karakter utama, Alisa (diperankan Suzzanna), memakai gaun pengantin serta tata rias rambut ala adat Jawa. Pemeran pembantu lainnya pun memakai baju surjan lurik lengkap dengan blangkon seperti khasnya busana Jawa. Hal lain yang merepresentasikan kebudayaan Jawa dalam film ini dapat dilihat dari klasifikasi hantu yang termasuk makhluk halus jenis memedi[3].
Eksistensi kebudayaan Jawa dalam film horor hadir kembali pada film Ratu Ilmu Hitam (1981). Memiliki pola yang hampir serupa dengan Sundel Bolong (1980), adegan pertama dalam film menunjukan pernikahan yang kental akan adat Jawa, mulai dari tata rias, pakaian hingga musik gamelan yang mengiringi. W.D Mochtar yang berperan sebagai dukun pun sesekali berpakaian surjan lurik sembari memakai blangkon khas Solo (tanpa mondholan di bagian belakang). Adanya penggunaan pakaian adat dalam film ini menjadi salah satu ciri dari eksistensi budaya Jawa yang terang-terangan diangkat menjadi identitas film yang juga menyiratkan kebiasaan masyarakat yang menjadi penontonnya.
Film lain yang dengan jelas menyertakan kebudayaan Jawa ialah film Nyi Blorong (1982) serta Perkawinan Nyi Blorong (1983). Nyi Blorong merupakan sosok makhluk halus -putri dari Nyi Roro Kidul-[4]- yang kerap memberikan pertolongan harta kepada manusia dengan imbalan nyawa orang-orang terkasihnya (pesugihan). Nyi Blorong serta Nyi Roro Kidul merupakan jenis makhluk halus demit, tempat yang dihuninya ialah pantai selatan Pulau Jawa-Bali. Mitos dan legenda dari Nyi Blorong atau yang juga dikenal sebagai ratu ular ini telah terkenal di kalangan masyarakat Jawa. Hal ini juga dikemukakan oleh Y. Argo Twikromo dalam bukunya yang berjudul Ratu Kidul bahwa mitologi mengenai Nyi Roro Kidul sangat mempengaruhi aktivitas kebudayaan masyarakat Jawa yang mendasari maupun mendukungnya, contoh dari praktik yang populer ialah upacara labuhan parangkusumo[5]di Yogyakarta.
Representasi tradisi dan adat Jawa juga hadir dalam film Malam Jumat Kliwon (1986). Aktor bernama Ayu diperankan Suzzanna, jika nama tersebut diterjemahkan dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia berarti perempuan yang cantik. Terdapat juga gelar Jawa yang digunakan pada aktor film tersebut: Raden, oleh tokoh pendukung yang diberi nama Raden Ngabehi Arya Tejo. Gelar ini merupakan gelar kehormatan priyayi yang merupakan ciri identifikasi dari kaum elite tradisional[6]. Malam jumat kliwon dalam film digambarkan menjadi titik klimaks pembalasan dendam oleh sundel bolong. Representasi yang dilakukan oleh sundel bolong tersebut diasosiasikan dengan pembunuhan terhadap orang-orang yang berlaku jahat padanya.
Serupa namun memiliki alur yang berbeda, film Malam Satu Suro (1988). Dalam film ini, malam satu suro menjadi persyaratan sakral untuk melanggengkan kekuatan ilmu hitam. Mantra-mantra berbahasa Jawa Kuno dilontarkan oleh Ki Rengga yang diketahui adalah seorang dukun untuk membangkitkan arwah sundel bolong. Penggunaan bahasa Jawa Kuno sebagai mantra merupakan salah satu bukti dari eksisnya mistisme Jawa dalam penggunaan ilmu hitam dalam media. Stigmatisasi tersebut dibentuk oleh media, sehingga masyarakat urban melihat pemakaian bahasa Jawa Kuno adalah bentuk-bentuk klenik masa lalu yang menyeramkan.
Tidak semua film horor mengangkat kebudayaan Jawa sebagai topik utama dalam pengambilan latar belakang. Seperti film Pengabdi Setan (1980), Bisikan Setan (1985), Lukisan Berlumur Darah (1988) dan film lainnya yang memilih latar tempat perkotaan serta gaya hidup sekuler dengan modernisasi yang terlihat dari busana serta kebiasaan yang tidak melulu lekat dengan salah satu kebudayaan. Film lainnya yang juga tidak mengambil latar belakang kebudayaan Jawa ialah Mystic in Bali atau Leak (1981) yang cenderung berlatar tempat dan identitas Bali sebagai inti dari alur cerita. Sedangkan dalam periode 3 tahun, selalu terdapat film horor yang mengangkat judul dengan kebudayaan Jawa yang menjadi aspek utama dalam inti cerita. Diantaranya,Sundel Bolong (1981), Nyi Blorong (1982), Perkawinan Nyi Blorong (1983), Malam Jumat Kliwon (1986), Malam Satu Suro (1988), dan Nyi Lamped Karang Hawu (1990).
Hal ini merupakan salah satu bentuk eksklusivitas budaya Jawa dalam latar belakang tempat maupun identitas film horor, yang mencerminkan bahwa kemajuan kebudayaan dalam media berpusat pada Jawa. Secara khusus, tentang ritus-ritus Kejawaan sebagai kebudayaan yang eksklusif daripada kebudayaan lain yang ada di Indonesia sehingga membuat daerah-daerah lain seakan terlupakan. Dengan keragaman dari budaya di Indonesia, penggiat film dapat lebih luas untuk mengangkat tema-tema kebudayaan daerah lain untuk diangkat menjadi karya.
Lakon Film & Refleksi Sosio-Historis
Film-film horor di masa Orde Baru kental dengan unsur religi-keagamaan. Peran agama ini biasanya tayang dalam menetralisir dan mengalahkan kekuatan supranatural yang menjadi tokoh antagonis. Peran tokoh keagamaan yang dikenal dengan kaum santri dalam “literatur sejarah Jawa”, muncul sebagai antitesis terhadap mistisisme di film horor. Tokoh keagamaan dalam film horor dapat diprediksi, mereka selalu bisa mengalahkan kekuatan supranatural yang biasanya diaktori oleh “kaum abangan”. Walau kaum abangan dalam film horor tidak selalu muncul, tetapi tokoh agama selalu ada dalam menetralkan keadaan.
Kepercayaan-kepercayaan terhadap mitologi Jawa, mantra, sesajen, kesenian yang memiliki unsur supranatural dalam masyarakat Jawa diasosiasikan dengan kaum abangan atau Muslim nominal[7]. Kaum abangan merupakan Muslim, namun mereka tidak menjalankan syariat Islam sepenuhnya. Jelas sekali argumen Jawaisme dalam film horor masa Orde Baru, tipologi golongan masyarakat Jawa terepresentasikan. Tipologi santri dan abangan yang dipopulerkan oleh Geertz[8], kekuatan religio-spiritual dan mistis-supranatural, superioritas tokoh agama, dan refleksi historis film horor 1980–1990an akan menjadi pokok pembahasan dalam bagian dua.
Film Dukun Lintah (1981) yang disutradarai oleh Ackly Anwari menggambarkan kemenangan mutlak kekuatan religio-spiritual terhadap mistisisme-supranatural kaum abangan. Dalam film ini si dukun melakukan guna-guna dengan media lintah kepada semua warga desa. Tindakan si dukun tidak bertahan lama, anti-tesis terhadap kekuatan mistis muncul, sang ustaz. Sang Ustaz tiba-tiba datang di tengah kerumunan warga yang terkena guna-guna lintah. Dengan membacakan doa-doa, ustaz tersebut berhasil mengundang petir dari langit yang kemudian menyembuhkan warga yang terkena lintah. Tak lama setelah itu si dukun lintah kena imbasnya, tubuhnya dipenuhi oleh lintah. Di sini kekuatan religio sang ustaz berhasil menaklukan mistisme abangan si dukun.
Dikotomi antara mistisme-supranatural dan religio-spiritual hadir dalam film Ratu Ilmu Hitam (1981). Kekuatan mistisme-supranutral sangat menonjol dalam film ini. Murni sang lakon utama berusaha membalaskan dendamnya kepada warga desa yang telah membuangnya. Murni dibantu oleh sang dukun abangan untuk melampiaskan dendam tersebut. Satu-persatu warga desa lumpuh oleh kekuatan magis. Di akhir cerita, sangat terlihat pertentangan antara agama dan mistisisme dalam film ini. Murni tiba-tiba mengamuk, kekuatan mistisnya berhasil membuat warga di masjid terbakar. Gedon sang dukun berusaha mengendalikan Murni namun hal ini ditentang oleh kekuatan religi. Warga dalam film tersebut serentak membacakan ayat kursi terhadap Murni dan si dukun. Murni sadarkan diri sedangkan si dukun habis dan tidak berdaya.
Munculnya tokoh keagamaan yang mengalahkan kekuatan mistisme juga terlihat dalam film Nyi Blorong (1982). Film ini menceritakan tentang seorang pria yaitu Cokro, yang melakukan pesugihan ala abangan untuk mengais rezeki secara instan melalui Nyi Blorong. Tokoh keagamaan datang pada awal cerita dengan memperingati bahwa penyembahan terhadap Nyi Blorong untuk memperkaya diri adalah musyrik. Peran ustaz juga muncul untuk menetralisir keadaan saat Sasti, anaknya Cokro, mengalami kesurupan. Arwah yang memasuki tubuh Sasti berhasil dikalahkan oleh doa yang dilantunkan oleh ustaz.
Peran tokoh agama pada film Malam Satu Suro (1988) ialah ketika sundel bolong mulai membalaskan dendamnya dengan cara-cara yang keji, lalu ustaz meredakan situasi dengan membacakan doa agar sundel bolong dapat pergi kembali ke alamnya dengan tenang. Alhasil nona sundel bolong kembali tenang oleh kekuatan sang ustaz.
Film-film horor di masa Orde Baru, akhir-akhir ini kembali diterbitkan namun dengan cerita yang sedikit berbeda. Perbedaan ini sangat menonjol yaitu “peran tokoh agama” yang tak lagi memiliki superioritas dan sentralitas. Dalam film horor pasca-Reformasi, unsur keagamaan dan kebudayaan Jawa dalam film horor tidak semenonjol seperti era sebelumnya.
Alur cerita film Pengabdi Setan (2018) yang disutradarai Joko Anwar berbeda dengan film Pengabdi Setan (1982) yang disutradarai oleh Sisworo Gautama. Perbedaan terletak pada akhir cerita, ketika tokoh agama meninggal di tengah-tengah film dan tidak memiliki peran yang besar dalam alur film. Hal sama juga terjadi pada film Ratu Ilmu Hitam (2019) yang disutradarai oleh Kimo Stamboel, ketika tokoh agama tidak muncul sama sekali, sedangkan dalam Film Ratu Ilmu Hitam (1981) peran tokoh agama sangat dominan
Pada dasarnya film tidak bisa lepas dari refleksi sosial saat film itu diproduksi. Pada 1980–1990an terjadi islamisasi besar-besaran dari tingkat kota hingga pedesaan. Islamisasi yang terjadi diikuti dengan sentimen-sentimen terhadap kaum abangan. Hal itu diperkuat dengan anggapan kaum abangan identik dengan komunisme. Pada 1965–1966 terjadi genosida besar-besaran terhadap kaum komunis dan yang dianggap komunis –secara vertikal maupun horizontal- oleh kaum santri dan militer sebagai fondasi yang membentuk rezim Orde Baru. Kaum abangan yang selalu diidentikan dengan komunis pada masa Orde Baru mengalami kemunduran signifikan.
Rezim Orde Baru melarang lebih dari seratus komunitas sayap kiri yang kebanyakan diisi oleh kaum abangan.[9] Di masa Orde Baru kaum abangan ini semakin terdiskreditkan, kebijakan Orde Baru dan islamisasi yang terjadi di desa hingga kota pada 1980–1990an tidak memungkinkan kaum abangan tetap eksis.
Di salah satu desa kecil daerah Malang pada 1980 an terjadi proses islamisasi yang berhasil mereduksi kepercayaan dan kegiatan berunsur mistis kaum abangan. Awalnya desa tersebut didominasi oleh kaum abangan, kepercayaan magis,slametan, tarian jarang dalam desa tersebut sangat melekat. Akan tetapi ketika 1978 terjadi pergantian kepala desa, kepala desa tersebut tidak menyukai kepercayaan dan kegiatan kaum abangan. Perubahan yang signifikan terjadi, kaum santri menjadi agen islamisasi di desa tersebut dan membuat terobosan untuk menghapuskan ritus-ritus mistis dari desa tersebut[10]. Unsur-unsur abangan di desa tersebut memudar layaknya kekalahan abangan oleh santri dalam film horor.
Pada 1970 an warga Desa Wonokerto, Probolinggo kebanyakan beragama Islam namun mereka dikategorikan kaum abangan karena mereka tidak melaksanakan syariat Islam. Para dukun di sana masih tetap bertahan, bahkan sebelum Islam masuk ke Desa Wonokerto terjadi konsensus antara dukun dan tokoh agama yang isinya agama Islam tidak boleh masuk ke desa di luar Wonokerto. Di Wonokerto hanya sebagian warga sana yang melaksanakan syariat Islam seperti sholat dan Jumatan, itu pun mereka lakukan di luar desa dikarenakan di Desa Wonokerto tidak terdapat masjid sama sekali. Perkembangan Islam di Wonokerto mulai tampak sejak 1980 an hal itu semakin ditandai dengan dibangunnya masjid di sana.
Setelah dibangunnya masjid, sekretaris desa di sana menggagas untuk mendirikan sholat Jum’at di masjid yang baru dibangun. Tetapi hal itu menimbulkan kontra dari kaum abangan desa tersebut. Kaum abangan menganggap karena yang melakukan sholat Jumat di sana tidak cukup banyak. Ketika 1990an islamisasi sangat pesat di sana, masjid yang awalnya hanya terdapat satu menjadi lebih banyak ketika tahun 1990an.[11] Pada era tersebut juga kegiatan-kegiatan keagamaan seperti shalat berjamaah, Jumatan, dan pengajian menjadi rutin dilakukan sedangkan pengaruh kaum abangan di desa sana mulai memudar.
Islamisasi yang semakin mereduksi pengaruh sosio-kultural kaum abangan juga terjadi di Desa Madukoro. Islamisasi di Desa Madukoro juga melibatkan intrik politik Golkar dalam keagamaan. Kaum abangan masih kental dengan budaya-budaya Jawa seperti gamelan, wayang, kethoprak, ludruk, reog, dan slametan. Kaum abangan di Desa Madukoro dipimpin oleh seorang tertua desa yang membacakan doa dalam bahasa Jawa tapi diiringi unsur Islami dalam melakukan slametan. Pengaruh abangan di desa tersebut tidak lama dan segera merosot. Situs slametan kaum abangan phunden desa dihancurkan oleh kaum santri sebagai bentuk upaya islamisasi.
Pada era 1990 an islamisasi di Desa Madukoro semakin kuat ketika Golkar (partai pemerintah) melakukan intrik politiknya. Lembaga keagamaan setempat memberikan dukungannya kepada Golkar, hal ini memancing perpecahan antara kaum santri di Desa Madukoro. Intrik Golkar dalam islamisasi juga terjadi di Jombang yang terkenal dengan pesantren-pesantrennya. Salah satu kiai di Jombang menyatakan dukungan kepada Golkar dalam pemilihan umum 1977. Walaupun dengan adanya penetrasi Golkar dalam islamisasi membuat islamisasi semakin kuat di Jombang, perpecahan politis terjadi antara kaum santri [12]
Penetrasi pemerintah dalam islamisasi ini semakin terlihat daerah Pasuruan dengan pendekatan pembangunan yang khas dengan rezim Orde Baru. Pemerintah Orde Baru membangun lembaga-lembaga pendidikan keagamaan seperti madrasah. Awalnya daerah pasuruan sangat didominasi kaum abangan namun ketika islamisasi yang disponsori pemerintah terjadi santri modernis kini menjadi aktor utama. Golkar sebagai partai pemerintah mengadakan kegiatan-kegiatan pengajian di Pasuruan selain itu program pendidikan bagi pengurus masjid diadakan[13]
Islamisasi era 1980–1990an gencar dilakukan kalangan santri di tingkat perkotaan hingga pedesaan. Pemerintah Orde Baru yang memiliki tujuan politis turut memperkuat islamisasi yang terjadi. Islamisasi tersebut disertai sentimen dan upaya mereduksi kaum abangan beserta segala kegiatan dan kepercayaannya. Tokoh keagamaan atau santri dalam film horor selalu berhasil dalam mengalahkan kaum abangan (terwakili oleh dukun) yang penuh kekuatan supranatural dalam film. Walaupun tokoh abangan tidak selalu muncul dalam film horor namun kekuatan keagamaan selalu datang diakhir cerita sebagai tokoh sentral yang menetralisir hantu dan mistisme dalam film.
Narasi-narasi dalam film horor tersebut tentunya adalah cerminan islamisasi yang saat itu terjadi. Film horor 1980–1990an merefleksikan kondisi sosio-historis pada saat film itu diproduksi. Jika kita melihat secara politis, Suharto pernah mengatakan bahwa ajaran-ajaran mistik tidak menjadi alternatif bagi keagamaan tapi hanya sebagai pelengkap, pernyataan Suharto ini sungguh membingungkan.[14] Secara keagamaan Suharto termasuk seorang Muslim yang sinkretis.
Islamisasi yang terjadi era 1980–1990 yang melibatkan intrik politik Orde Baru hingga ke desa-desa juga menimbulkan suatu pertanyaan, apakah pemerintah Orde Baru saat itu mengatur layar kaca demi semacam harmonisasi sosial yang bisa meluluhkan musuhnya (Islam politik) dengan cara memperhatikan Islam secara sosial untuk menarik citra umat Muslim Indonesia?
Ordinasi Dibalik Layar
Politik Orde Baru memiliki ciri pemerintahan yang militeristik dan otoriter, hal itu dicirikan dari banyaknya kontrol pada masyarakat. Kontrol tersebut dimaksudkan untuk mendukung narasi-narasi pembangunan yang sejalan dengan tujuan pemerintahan Orde Baru. Dalam perfilman, campur tangan pemerintah direpresentasikan dari pembentukan-pembentukan lembaga birokratis ketat dan mengikat yaitu Badan Sensor Film (BSF).
Mengikuti sejarah dari lembaga penyensoran era Orde Baru, signifikansi campur tangan pemerintah yaitu ketika Ali Murtopo menjadi Menteri Penerangan pada 1979. Di dalam BSF, perwakilan dari intelijen dan departemen yang mewakili pemerintah dinaikan jumlahnya menjadi 37 orang. Badan Koordinasi dan Intelijen (BAKIN) memiliki posisi strategis untuk mengatur sensor dalam peredaran film di Indonesia [15]
Hal ini mengisyaratkan bagaimana turut campur pemerintah begitu dalam untuk mengontrol apa yang boleh dan tidak boleh ditonton oleh warganya. Ironisnya, hal ini bukanlah sesuatu yang substansial namun hanyalah persoalan nama baik negara dan institusinya. Semua hal itu dilindungi oleh rezim Orde Baru dalam narasi pembangunan yang tidak boleh dikritik dan diganggu gugat.
Kebijakan sensor masa Orde Baru mengingatkan pada kebijakan ordinansi Belanda tahun 1940, yaitu bentuk-bentuk pelanggaran terhadap kesusilaan dan norma masyarakat yang berkaitan dengan pertunjukkan film.[16] Terdapat beberapa kali perubahan kebijakan pada era Orde Baru, pertama diberikan oleh Menteri Penerangan pada tahun 1977. Selanjutnya, kebijakan langsung dibuat oleh BSF pada tahun 1980 dan kemudian disempurnakan dalam Kode Etik Produksi Film Nasional tahun 1981.
Sebelumnya, BSF memberi perintah untuk melarang film-film yang dianggap berpotensi untuk merusak kerukunan beragama di Indonesia; membahayakan pembangunan kesadaran nasional, atau mengeksploitasi sentimen kesukuan, agama, atau keturunan, atau memancing ketegangan sosial[17]. Kode etik dari dewan produksi film hadir pada tahun 1981 dan menjadikan larangan-larangan yang dikemukakan oleh BSF sebagai landasan untuk penentuan kebijakan. Isi dari kode etik tersebut antara lain:
“Film Indonesia harus mengekspresikan keharmonisan kehidupan beragama dan saling menghormati praktek-praktek peribadatan agama dan kepercayaan masing-masing. Film pun dipaksa menunjukan bagaimana orang Indonesia meletakkan persatuan, kemakmuran bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan kelompok dan khususnya memasukkan kisah-kisah yang menekankan nilai-nilai kesatuan nasional…. film dilarang memperlihatkan adegan-adegan yang menampilkan konflik antaragama.”[18]
Kesamaan dari konsep-konsep tersebut dengan ordonansi Belanda tahun 1940 adalah hasil-hasil produksi tidak berlawanan dengan arah politik pemerintah dan norma-norma kemasyarakatan yang ada. Semangat zaman perumusan kebijakan Orde Baru adalah keinginan Orde Baru untuk menyatukan visi masyarakat untuk memberantas komunisme dari Indonesia. Pada penerapan kebijakan-kebijakan yang ada, merepresentasikan bentuk-bentuk intervensi otoritas penguasa untuk selalu mengontrol masyarakat dengan seragam konvensi-konvensi. Bentuk lain daripada kontrol yang diberikan adalah penekanan untuk menghilangkan setiap bentuk adegan yang memicu merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat dan juga adegan pengejekan terhadap penegak hukum dan ketertiban[19].
Stigma negatif terhadap era Orde Baru sebagai sebuah rezim militer dan otoriter tidak hanya memberikan efek negatif terhadap perkembangan film horor. Upaya-upaya untuk melakukan modernisasi dan kemajuan industri membuat pemerintah Orde Baru menggunakan kekuasaannya untuk membatasi kuota impor film. Akibat dari kebijakan impor film yang dikurangi setelah terjadinya kerusuhan Malari tahun 1974, pemerintah memotong film impor sebanyak 100 film per tahun- dari 600 film(1972) ke 300 film(1976). Dan pada akhirnya saat tahun 1979 film-film impor sangat dikurangi, kecuali film-film yang dipilih[20]. Hal itu memberi angin segar terhadap produksi-produksi film yang ada di Indonesia, sehingga membuat lonjakan produksi film pada tahun-tahun berikutnya.
Dalam film horor secara spesifik pemerintah melakukan kontrol layar kaca secara ketat. Kontrol ketat birokrasi Orde Baru dirasakan oleh penggiat film horor era Orde Baru. Dikutip dari majalah Tempo 23 Februari tahun 2003 menurut Ferry Anggriawan- seorang pimpinan produksi pada tahun 1980-an- bahwa,
“Pada waktu itu BSF sangat mencampuri, macam-macam caranya. Jika penyelesaian masalah dalam cerita tidak menampilkan kyai, filmnya bakal dibredel. Untuk menyelamatkan diri, ya, kami terpaksa membikin-bikin munculnya tokoh kiai.”[21]
Munculah kelesuan pada kemajuan industri film, secara khusus pada unsur estetika seni dan keberagaman konsep film. Menurut Ferry, akhirnya konsep-konsep dalam film hanyalah hitam dan putih dan sudah tidak fokus kepada inti dari hantu yang akan diangkat. Dalam salah satu adegan film horor muncul penayangan adegan seks yang pada bagian atasnya diselingi ayat Quran, bahwa hal itu merupakan sesuatu yang dilarang.[22] Ironi pada produksi film di tahun-tahun 1981–1990 tidak begitu kentara, namun bentuk-bentuk ekspresi seni dari penggiat film menjadi terbatas karena serangkaian intervensi dari pemerintah.
Bentuk-bentuk kontrol adegan film yang diregulasikan pemerintah, berkaitan dengan arah politik sultan dari pemerintahan Orde Baru yaitu Suharto. Menurut penelitian dari M.C Ricklefs, ia membahas bahwa Soeharto lekat kaitannya dengan unsur-unsur ke-Jawa-an. Soeharto sendiri memiliki beragam kepercayaan-kepercayaan Jawa murni yang bertentangan dengan ajaran Islam Sunni. Filosofi-filosofi dari kebudayaan Jawa kuno terepresentasikan pada kebijakan-kebijakan yang diambil. Kebijakan untuk tidak diizinkannya mempertontonkan perkelahian di depan umum, harus berlaku sopan serta mengutamakan kerukunan masyarakat. Budaya Jawa dalam film dari semacam pakaian, gelar, musik, dan sebagainya juga terepresentasikan. Seolah dalam film horor hanya ada budaya Jawa. Namun, tidak sepenuhnya Suharto dapat melakukan penyeragaman kepada masyarakat Indonesia yang sangat plural.[23]
Terdapat rintangan-rintangan yang harus dihadapi pemerintahan Orde Baru hingga akhirnya pemerintahan Orde Baru tidak dapat lagi menjadi penguasa Indonesia. Tantangan didapatkan dari kalangan Islam politik yang notabene telah termarjinalkan pada era Orde Lama dan kembali menjadi hantu bagi stabilitas pemerintahan Orde Baru.
Poin Islamisasi pada bagian ke-2 merupakan upaya Orde Baru dalam melanggengkan kekuasaanya di Indonesia. Islam sebagai pihak yang termarjinalkan secara politik sejak era Orde Lama, secara sadar oleh pemerintah Orde Baru diredam kekuatan-kekuatannya secara politis.[24] Dengan dilemahkannya partai-partai politik Islam pada masa-masa itu membuat suara politik Islam menjadi lemah. Sebagai gantinya, banyak pergolakan dari massa Islam yang menyerang pemerintahan Orde Baru antara lain adalah peristiwa Tanjung Priok. Peristiwa tersebut membuat sadar pemerintah Orde Baru akan kekuatan dari kubu Islam yang besar.
Pemerintah akhirnya melakukan pendekatan persuasif untuk mengambil hati dari masyarakat Indonesia khususnya di daerah “pedesaan”. Islam dipandang sebagai sebuah tatanan sosial yang haruslah menjaga kerukunan dan dukungan terhadap upaya-upaya pemerintah dalam kebijakannya. Alhasil, seperti yang terlihat di bagian dua, rezim Orde Baru memperhatikan Islam secara sosial, melakukan penetrasi islamisasi hingga ke desa-desa hingga menampilkannya dalam layar kaca dengan ordinasi dan birokrasi yang ketat. Konsep seperti ini akhirnya lahir dan membuat segala aspek bahkan hingga kebudayaan mendapat pengaruh kuat dari militer dan birokrasi pemerintah.
Di periode akhir Orde Baru, kebijakan sensor yang memiliki unsur-unsur seks dan pornografi seperti yang tertera pada Kode Etik tahun 1981, tidak semerta-merta diartikan sebagai sebuah konvensi umum masyarakat yang harus benar-benar ditegakan. Tahun 1992, diturunkan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1992 tentang perfilman. Penerapan tersebut lantas menjadi sebuah angin segar terhadap tumpang tindih kepentingan politik dari birokrat, militer dan penggiat film. Namun, jika ditilik lebih lanjut, apa yang ada pada undang-undang tersebut memiliki semangat yang sama dengan kode etik produksi tahun 1981.
Film-film yang berbau pornografi begitu banyak diproduksi pada era 1990an. Di masa-masa akhir pemerintahan Orde Baru, peran dari BSF tidak lagi sentral dan cenderung acuh untuk menegakkan regulasi yang ada. Salah satunya film seperti Pembalasan Ratu Laut Selatan(1994), hantu-hantu yang ditampilkan berubau erotikal dan porno, dengan pakaian-pakaian mini dan bahkan transparan. Etika komersialisme, akhirnya mendominasi pasar film horor yang menjadikan kelesuan dalam industri film horor di Indonesia. Akhirnya seni diartikan sebagai sebuah selera pasar yang hanya bersoal daripada keuntungan-keuntungan dari pembuat dan pekerjanya.
Epilog
Dari apa yang telah diuraikan di atas kita dapat melihat bahwasannya terdapat suatu politik layar kaca. Film-film horor Orde Baru yang merepresentasikan budaya-budaya Jawa sangat lekat dengan citra Suharto di istana. Seperti apa juga yang dikatakan John Pemberton, terjadi homogenisasi budaya Jawa di dalam media. Secara industri-pun, perfilman di masa Orde Baru tidak lepas dari pasar. Jawa sebagai pusat pembangunan tentunya memiliki pasar tersendiri terlebih film-film horor merepresentasikan budaya-budaya Jawa.[25]
Kemenangan tokoh agama terhadap mistis abangan dalam film horor adalah refleksi sosial saat itu. Islamisasi terjadi secara intens, dari perkotaan hingga pedesaan. Islamisasi yang terjadi melibatkan sentimen terhadap kaum abangan yang notebenenya merupakan Muslim nominal dan lekat dengan unsur mistis. Yang di mana hal itu menghasilkan pereduksian kaum abangan. Islamisasi sebagai refleksi film horor juga tidak lepas dari penetrasi pemerintah. Pemerintah Orde Baru sedang gencar melakukan upaya islamisasi hingga ke pedesaan. Hal itu merupakan langkah pemerintah dalam memperhatikan Islam secara sosial, akan tetapi di sisi lain pemerintah Orde Baru memiliki “latensi” yaitu menjinakan Islam politik yang saat itu menjadi musuh pemerintah Orde Baru.
Dominasi budaya Jawa dan superioritas unsur religio-spiritual dalam seperti apa yang diharuskan pemerintah Orde Baru dalam film horor ini tertuangkan dalam berbagai ordinasi dan penetrasi politik yang lebih nyata. Adanya “ordinasi dibalik layar”, BSF, kode etik produksi, hingga intrik algojo Orde Baru, Ali Murtopo adalah manifestasi politik film horor di Indonesia dalam kemelut dinasti Orde Baru.
Adanya politik film horor di masa Orde Baru tentunya membatasi ekspresi berkarya dalam seni. Film sebagai bentuk seni pertunjukan modern harusnya bebas dari belenggu apapun termasuk juga politik. Seni adalah tentang ekspresi kebebasan berkarya, tidak seharusnya dicakar-cakar oleh politik dan kekuasaan.
Daftar Pustaka
Anonim, 2013. Menjenguk Film-Film Horor Indonesia: Dari Babi Ngepet hingga Jelangkung. 23 Februari, p. 72.
Bangunnya Nyi Roro Kidul. 1985. [Film] Directed by Sisworo Gautama Putra. s.l.: s.n.
Bayi Ajaib. 1982. [Film] Directed by Tindra Rengat. s.l.: s.n.
Debby, Y., 2020. Desaklarisasi Film Horor Indonesia dalam Kajian Reception. ProTVF, pp. 1–19.
Dr. Isharyanto, S. M., 2017. Partai Politik, Ideologi, dan Kekuasaan. Yogyakarta: CV. ABSOLUTE MEDIA.
Dukun Lintah. 1981. [Film] Directed by Ackyl Anwari. s.l.: s.n.
Hefner,Robert.,2000. Civil Islam : Islam dan Demokrasi di Indonesia.Yogyakarta : ISAI.
Herder, E. G., 2015. Are Indonesian Films Really Indonesian?. Visual Anthropology.
Herusatoto, B., 1985. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT. Hanindita.
Geertz, Clifford. 2014. Agama Jawa: Abangan Santri Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa. Depok: Komunitas Bambu.
Jones, T., 2015. Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Koentjoroningrat, 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Kosim, S. d. B., 2013. Perkembangan Agama Islam di Desa Wonokerto Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo 1980–2012. Pancaran, Volume 2 №4.
Kurnia, N., 2006. Lambannya Pertumbuhan Industri Perfilman. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Lukisan Berlumur Darah. 1988. [Film] Directed by Torro Margens. s.l.: s.n.
Majalah Tempo 23 Februari tahun 2003.
Malam Jumat Kliwon. 1986. [Film] Directed by Sisworo Gautama Putra. s.l.: s.n.
Malam Satu Suro. 1988. [Film] Directed by Sisworo Gautama Putra. s.l.: s.n.
Mystic in Bali. 1981. [Film] Directed by H. Tjut Djalil. s.l.: s.n.
Nyi Blorong. 1982. [Film] Directed by Sisworo Gautama Putra. s.l.: s.n.
Nyi Lamped Karang Hawu. 1990. [Film] Directed by Charles Anakotta. s.l.: s.n.
Pemberton, J., 1994. On the Subject of Java. London: Cornell University Press.
Pengabdi Setan. 1980. [Film] Directed by Sisworo Gautama Putra. s.l.: s.n.
Perkawinan Nyi Blorong. 1983. [Film] Directed by Sisworo Gautama Putra. s.l.: s.n.
Petualangan Cinta Nyi Blorong. 1986. [Film] Directed by Sisworo Gautama Putra. s.l.: s.n.
Rahardjo, S., 2002. Peradaban Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu.
Ratu Ilmu Hitam. 1981. [Film] Directed by Imam Tantowi. s.l.: s.n.
Ricklefs, M. C., 2013. Mengislamkan Jawa. Jakarta: Serambi.
Rusdianti, S. R., n.d. Film Horor Indonesia: Dinamika Genre.
Sasono, E., 2011. Menjegal Film Indonesia: Pemetaan Ekonomi Politik Industri Film Indonesia. Jakarta: Rumah Film.
Sen, K., 2009. Kuasa Dalam SInema. Yogyakarta: Ombak.
Sundel Bolong. 1981. [Film] Directed by Sisworo Gautama Putra. s.l.: s.n.
Telaga Angker. 1984. [Film] Directed by Sisworo Gautama Putra. s.l.: s.n.
Trilaksana, M. L. &. A., 2013. Perkembangan Film Horor tahun 1981–1991. Journal Pendidikan Sejarah.
Twikromo, Y. A., 2000. Ratu Kidul. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Utomo, Y. S., 2018. Kebijakan Perfilman Indonesia Masa Orde Baru (1967–1980). Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.
Catatan Kaki
[1] Widiana, Nurhuda. 2015. “Pergumulan Islam dengan Budaya Lokal,” Jurnal Teologia. vol. 26, no 2. hlm. 210
[2] Geertz, Clifford. 2014. Agama Jawa: Abangan Santri Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa. Depok: Komunitas Bambu. hlm. 9–26.
[3] Ibid, hlm. 11–12.
[4] Nyi Roro Kidul merupakan sosok perempuan yang dilegendakan menjadi ratu penguasa laut selatan.
[5] Upacara Labuhan Parangkusumo merupakan pertapaan yang dilakukan oleh Panembahan Senopati untuk memohon petunjuk menjadi pemimpin yang baik. Menurut legenda, saat pertapaan itu berlangsung, Panembahan Senopati didatangi Nyi Roro Kidul yang berjanji akan membantunya.
[6] Ibid. hlm. 594–595.
[7] Mistisme yang diidentikan dengan kaum abangan dapat dilihat dari penelitian Geertz, Agama Jawa, (Depok : Komunitas Bambu, 2013).
[8] Lebih lanjut mengenai santri dan abangan dapat dilihat dari analisis Geertz, Agama Jawa, Depok : Komunitas Bambu, 2013
[9] Robert Hefner, Civil Islam : Islam dan Demokrasi di Indonesia, (Yogyakarta : ISAI, 2000), 155.
[10] Ricklefs, M.C. 2015. Mengislamkan Jawa. Jakarta : Serambi
[11] Perkembangan Agama Islam di Desa Wonokerto kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo 1980–2012
[12] Ibid, hlm 360–365.
[13] Ibid, hlm 328.
[14] Ibid, hlm 158.
[15] Utomo, S. Yudo. 2018. Kebijakan Perfilman Indonesia Pada Masa Orde Baru 1967–1980. Universitas Negeri Jakarta: Jakarta. (Utomo, 2018)
[16] Sen, K. 2009. Kuasa dalam Sinema: Negara, Masyarakat dan Sinema Orde Baru. Ombak: Yogyakarta
[17] Ibid. 121–123
[18] Ibid. 121
[19] Ibid 122
[20] Sen, K. 2009. Kuasa dalam Sinema: Negara, Masyarakat dan Sinema Orde Baru. Ombak: Yogyakarta hlm. 98–107
[21] Majalah Tempo 23 Februari tahun 2003, hlm. 72
[22] Ibid.
[23] Ricklefs, M.C. 2013. Mengislamkan Jawa. Jakarta:Serambi.
[24] Hal ini dapat dilihat dari mulai dilarangnya kembali Partai Masyumi, dilakukannya fusi partai islam, dijadikannya Pancasila sebagai azaz tunggal dalam organisasi Islam, hingga kekerasan terhadap gerakan Islam politik.
[25] Pemberton, John. On The Subject of Java.