Petani dan Dekapan Modernitas

Raka Putra Pratama
6 min readSep 24, 2024

--

Modernisasi yang melanda berbagai sektor kehidupan di Indonesia tidak hanya membawa perubahan signifikan di kawasan urban, tetapi juga merambah pedesaan, tempat mayoritas petani menggantungkan mata pencaharian mereka. Namun, modernisasi yang sering diklaim sebagai solusi untuk keterbelakangan justru memperburuk fenomena kemiskinan struktural, memperbesar ketimpangan ekonomi, serta memperlebar kesenjangan antara petani dan akses terhadap kemajuan ekonomi.

Persoalan ini mencakup berbagai dimensi seperti fluktuasi harga komoditas, penyempitan lahan, monopoli korporasi, hingga jeratan tengkulak. Tulisan ini berupaya menganalisis fenomena modernisasi pertanian di Indonesia dalam kerangka ekonomi-politik serta implikasinya terhadap kehidupan petani kecil.

Modernisasi Pertanian: Ketergantungan, Ketimpangan dan Pasar Global

Untuk memahami keterpurukan petani Indonesia dalam konteks modernisasi, teori dependencia (ketergantungan) yang dikemukakan oleh Andre Gunder Frank dan Immanuel Wallerstein menjadi landasan yang sangat relevan. Teori ini menggarisbawahi bahwa negara-negara berkembang cenderung berada dalam posisi subordinat terhadap negara-negara maju di dalam sistem kapitalisme global.

Ketergantungan ini membentuk relasi ekonomi yang eksploitatif, di mana negara-negara maju dan korporasi multinasional memperoleh keuntungan maksimal dari sumber daya negara berkembang, sementara petani dan sektor pertanian tradisional terjebak dalam kemiskinan dan ketimpangan. Dalam konteks pasar global, Indonesia merupakan salah satu produsen komoditas pertanian terbesar dunia, terutama untuk produk seperti sawit, kopi, karet, dan kakao.

Menurut laporan World Bank tahun 2021, sekitar 50% produk sawit Indonesia diekspor ke pasar global, dengan korporasi besar seperti Wilmar dan Sinar Mas mendominasi ekspor ini. Namun, petani kecil sering kali hanya memperoleh porsi yang sangat kecil dari rantai nilai tersebut. Bahkan, ketergantungan pada pasar global ini menjadikan petani sangat rentan terhadap fluktuasi harga internasional, yang sering kali ditentukan oleh dinamika permintaan dan kebijakan perdagangan negara maju, bukan oleh kebutuhan lokal.

Lebih lanjut, ketimpangan yang terjadi di sektor pertanian dapat dilihat dari data Indeks Gini. Pada 2023, Indeks Gini di pedesaan Indonesia tercatat sebesar 0,379, angka yang menunjukkan ketimpangan distribusi pendapatan cukup signifikan. Meskipun sebagian besar penduduk pedesaan bergantung pada pertanian sebagai sumber mata pencaharian utama, distribusi keuntungan di sektor ini tidak merata.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021 mengungkapkan bahwa 45% dari total penduduk miskin di Indonesia berasal dari sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan—indikasi jelas bahwa modernisasi belum memberikan dampak positif yang merata pada petani kecil.

Teori dualisme ekonomi yang diperkenalkan oleh J.H. Boeke juga dapat digunakan untuk menggambarkan koeksistensi antara ekonomi tradisional dan ekonomi modern di sektor pertanian Indonesia. Boeke berargumen bahwa di negara berkembang seperti Indonesia, perekonomian tradisional tidak sepenuhnya digantikan oleh ekonomi modern, tetapi hidup berdampingan dengan ketimpangan yang melebar. Dalam hal ini, petani kecil yang masih mengandalkan teknologi tradisional menghadapi tantangan besar dalam bersaing dengan korporasi besar yang memanfaatkan teknologi canggih dan mekanisasi.

Mekanisme modernisasi pertanian, yang sering kali berupa mekanisasi, penggunaan pupuk kimia, dan pengenalan varietas unggul, tidak dapat diakses secara merata oleh petani kecil. Mereka sering terjebak dalam sistem produksi subsisten yang sangat rentan terhadap fluktuasi harga dan perubahan iklim, tanpa memiliki akses terhadap modal dan pasar yang lebih luas. Akibatnya, modernisasi bukan hanya gagal menyelesaikan masalah struktural yang dihadapi petani, tetapi justru memperburuk ketergantungan mereka pada korporasi besar dan sistem perdagangan internasional yang tidak adil.

Pasar dan Carut-marut Harga Komoditas

Fluktuasi harga komoditas adalah salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh petani di Indonesia. Ketidakstabilan harga, baik di pasar domestik maupun internasional, secara langsung berdampak pada pendapatan petani. Sebagai contoh, harga komoditas utama seperti beras, jagung, kopi, dan karet sering mengalami volatilitas yang tinggi, menyebabkan ketidakpastian yang melumpuhkan bagi petani. Dalam konteks ini, mekanisme pasar global, di mana harga ditentukan oleh penawaran dan permintaan internasional, semakin memperburuk situasi.

Menurut data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS), harga beras di Indonesia dapat berfluktuasi secara signifikan setiap tahunnya. Pada awal 2023, harga beras mencapai Rp13.000 per kilogram, namun beberapa bulan kemudian turun hingga Rp10.500 per kilogram. Ketika harga komoditas turun drastis, petani mengalami kerugian besar, karena biaya produksi tetap tinggi, sementara mereka harus menjual hasil panen dengan harga rendah. Fluktuasi harga ini sangat dipengaruhi oleh kebijakan impor, spekulasi pasar, serta dinamika pasar internasional yang memaksa petani kecil menanggung beban ketidakpastian tersebut.

Pada komoditas lain, seperti kopi, dinamika serupa juga terjadi. Indonesia sebagai produsen kopi terbesar keempat di dunia, dengan 90% petani kopi berasal dari kelompok petani kecil, sangat rentan terhadap perubahan harga global. Data dari International Coffee Organization (ICO) menunjukkan bahwa pada 2018, harga kopi arabika global turun hingga di bawah $1 per pon, membuat banyak petani kopi di Indonesia terjerat dalam krisis ekonomi. Pada saat yang sama, eksportir besar dan pengepul di tingkat lokal masih mampu meraup keuntungan dari perbedaan harga internasional yang menguntungkan mereka.

Fluktuasi harga ini menimbulkan ketimpangan yang sangat mencolok di sepanjang rantai nilai pertanian. Petani, yang berada di ujung paling bawah rantai pasok, memiliki daya tawar yang lemah dalam menentukan harga jual. Sementara itu, tengkulak dan pedagang besar mengambil porsi keuntungan yang jauh lebih besar, memanfaatkan ketergantungan petani pada modal kerja yang diberikan oleh tengkulak untuk mengamankan hasil panen.

Penyempitan Lahan: Ancaman Modernisasi Terhadap Petani Kecil

Modernisasi juga membawa dampak serius dalam bentuk penyempitan lahan pertanian. Pembangunan infrastruktur besar-besaran, urbanisasi, dan konversi lahan untuk keperluan industri telah mempersempit lahan pertanian yang selama ini menjadi tumpuan hidup petani. Penyempitan lahan ini memaksa petani untuk mengurangi luas lahan garapan mereka atau bahkan kehilangan lahan sepenuhnya, sehingga mempengaruhi produktivitas mereka. Banyak petani terpaksa menjual lahan pertanian mereka untuk beralih menjadi buruh di sektor non-pertanian, yang menambah tekanan terhadap angka kemiskinan di kawasan perkotaan.

Data Kementerian Pertanian mencatat bahwa lahan pertanian di Jawa Barat menyusut sekitar 30.000 hektar antara 2018 dan 2022. Penyusutan ini disebabkan oleh konversi lahan untuk proyek infrastruktur dan pembangunan kawasan industri. Banyak petani di Subang dan Indramayu yang menjual lahan mereka dan terpaksa beralih profesi menjadi buruh kasar di perkotaan. Di sinilah modernisasi dan industrialisasi tidak hanya menciptakan urbanisasi yang masif, tetapi juga merampas sumber mata pencaharian utama dari petani kecil.

Penguasaan lahan oleh korporasi besar juga menjadi ancaman nyata bagi petani kecil. Korporasi yang memiliki akses pada teknologi modern dan modal besar mampu memanfaatkan lahan dengan lebih efisien, tetapi di sisi lain, petani kecil tidak mampu bersaing dalam hal produktivitas dan biaya produksi. Akibatnya, terjadi konsolidasi lahan di tangan segelintir orang, sementara petani kecil semakin terpinggirkan.

Jeratan Tengkulak: Wajah Lama di Era Modern

Tengkulak, meskipun dianggap sebagai fenomena ekonomi tradisional, masih bertahan di era modernisasi dan memainkan peran signifikan dalam distribusi hasil pertanian di pedesaan. Tengkulak berfungsi sebagai pemberi modal bagi petani yang membutuhkan dana untuk membeli bibit, pupuk, dan peralatan, tetapi dengan syarat petani harus menjual hasil panennya kepada tengkulak dengan harga yang sudah ditentukan sebelumnya—biasanya jauh di bawah harga pasar.

Menurut laporan Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Pertanian Daerah (LP3D), sekitar 60% petani di Jawa Tengah masih bergantung pada tengkulak untuk modal kerja. Sistem ini memperlihatkan bagaimana petani kecil tetap terperangkap dalam siklus ketergantungan yang sulit diputus. Tanpa akses ke modal formal seperti pinjaman bank atau lembaga keuangan, petani tidak memiliki alternatif lain selain mengandalkan tengkulak, yang sering kali menetapkan harga yang eksploitatif.

Penutup

Modernisasi seharusnya membawa transformasi ekonomi yang inklusif, tetapi kenyataannya, petani kecil di Indonesia masih terjebak dalam kemiskinan struktural yang dipicu oleh ketidakadilan sistemik.

Data Referensi

Boeke, J. H. (1953). Economic Policy of Dual Societies. London: Oxford University Press.

Badan Pusat Statistik. (2023). Indeks Gini Indonesia Tahun 2023. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Diakses dari https://www.bps.go.id

Frank, A. G. (1967). Capitalism and Underdevelopment in Latin America: Historical Studies of Chile and Brazil. New York: Monthly Review Press.

International Coffee Organization. (2018). Coffee Market Report. Diakses dari https://www.ico.org

Kementerian Pertanian. (2022). Statistik Pertanian Indonesia. Jakarta: Kementerian Pertanian Republik Indonesia.

Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Pertanian Daerah (LP3D). (2021). Laporan Kondisi Petani Jawa Tengah. Semarang: LP3D.

Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS). (2023). Harga Beras Nasional. Diakses dari https://hargapangan.id

Wallerstein, I. (1974). The Modern World-System: Capitalist Agriculture and the Origins of the European World-Economy in the Sixteenth Century. New York: Academic Press.

World Bank. (2021). Indonesia Economic Prospects: Stronger Recovery Through Reforms. Washington, D.C.: World Bank.

--

--

Raka Putra Pratama
Raka Putra Pratama

Written by Raka Putra Pratama

writer and socio worker | dive into digital marketing and popular culture in postmodern era

No responses yet