Pakaian dan Kontrol Politik Kolonial
PROLOG
Kajian mengenai sejarah fashion sangat menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Persoalan pakaian apa yang dikenakan merupakan bagian dari wujud kebudayaan.Indonesia merupakan bangsa yang terdiri ragam budaya, terdiri dari ragam etnis yang memiliki corak khas kebudayaannya sendiri. Di luar daya cipta budaya ragam etnis tentang pakaian, budaya-budaya yang datang dari luar seperti pengaruh budaya Eropa, India, Tionghoa dan Islam sangat mempengaruhi wacana kebudayaan di Nusantara.Seperti kata Denys Lombard, Indonesia merupakan wujud nyata silang-silang kebudayaan. Silang-silang budaya inilah yang mempengaruhi wacana kebudayaan Indonesia, terbentuk dalam proses sejarah yang panjang. Pakaian-pakaian yang ada di Nusantara tidak lepas dari pengaruh silang budaya tersebut.
Dalam sejarah, persoalan pakaian tidak terlepas dari kepentingan politik. Di masa kompeni VOC, pakaian pernah diatur demi tujuan politik pengawasan. Para penduduk di Batavia yang secara sosial majemuk diatur untuk menggunakan pakaian khas etnisnya masing-masing. Di luar aturan atau batas-batas mengenai pakaian tersebut, ada suatu pengecualian kelas, yaitu para elite aristokrat pribumi yang dibiarkan memakai dan mengadopsi pakaian gaya Eropa di tengah orang-orang pribumi yang terjajah. Esai ini bermaksud membahas dan menganalisis hal tersebut.
VOC dan Kuasa atas Pakaian
Mari kita mulai di Batavia, sebagai titik mula kontrol pakaian yang diatur dalam kuasa rezim kompeni. VOC sebagai perusahaan dagang yang memiliki otoritas layaknya pemerintah, andil besar dalam politik pakain. Ketika Batavia ditetapkan sebagai pusat pemerintahan kompeni VOC pada 1612, kota ini bukan hanya pusat dagang dan politik tapi pusat heterogenitas kebudayaan.
Sebagai pusat perdagangan, kelompok-kelompok etnisitas pribumi baik itu Ambon, Jawa, Sunda, Makassar, Bugis, Bali hingga Madura berdatangan untuk hidup di Batavia. Begitu juga dengan etnis Tionghoa yang digandang J.P Coen sebagai kelompok terpenting dalam pembangunan Batavia. Keberagaman ini juga ditambah dengan kedatangan bangsa Eropa yang semakin massif, bukan hanya dari Belanda, tapi juga bangsa Eropa lainnya yang datang baik untuk berdagang atau sebagai prajurit VOC.
Terbentuknya suatu masyarakat majemuk di Batavia mendatangkan suatu imajinasi politik tersendiri bagi pemerintah kompeni. Pemerintah VOC mengeluarkan aturan tentang pemukiman di Batavia. Kelompok etnisitas klasifikasikan berdasarkan pemukiman, VOC mengatur agar etnis-etnis yang tinggal di Batavia untuk hidup dan membentuk pemukiman berdasarkan kelompok etnisnya masing-masing.
Alasannya politiknya adalah agar VOC dapat mengetahui masing-masing etnis dengan kerangka pemukiman yang mereka bentuk sekaligus untuk agar masing-masing kelompok etnis tidak menyatu dan menjadi kekuatan politik yang membuat cemas pemerintah VOC. Di sisi lain VOC menjadi lebih mudah untuk melakukan kontrol politik pengawasan terhadap penduduk pribumi.
Langkah lebih lanjutnya dari kontrol politik pengawasan ini, mengarah pada aturan kebudayaan tentang pakaian apa yang harus digunakan. Kompeni VOC mengatur pakaian apa yang harus digunakan masing-masing kelompok etnisitas. Orang-orang Jawa yang hidup di Batavia diwajibkan mengenakan kebaya, begitu juga dengan etnis Sunda, Bugis, Bali, Tionghoa dan etnis lainnya agar memakai pakaian khasnya masing-masing mulai dari atasan, celana, topi, sepatu hingga pernak-pernik lainnya.
Dengan hal ini, pemerintah VOC mudah mengetahui penduduk Batavia berdasarkan etnis dan kebudayaan masing-masing. Sebagai contoh konkritnya, catatan de Graaf (1742) mengungkapkan fenomena berpakaian etnis-etnis pribumi yang kontras. Menurut de Graaf pria Jawa
“sering telanjang dan mengenakan kain diseputar pinggang mereka yang panjangnya mencapai lutut, kadang-kadang mereka mengikatkan selempang di pinggang, di mana mereka menyisipkan keris atau senjata, kepala mereka memakai semacam topi namun mereka bertelanjang kaki”
Ungkapan Graaf tersebut menginsyarakat suatu bentuk khas pakaian pria Jawa yang sering memakai sarung dan menyimpan keris di pinggangnya. De Graaf juga kemudian mengungkapkan kontrasnya pakaian pria Jawa dan orang Ambon dengan menyebutkan bahwa pria Ambon memakai kain katun yang dililitkan di kepala mereka dan menghiasi penutup kepalanya dengan bunga-bungan. Catatan lain juga membahas persoalan pakaian orang-orang Bugis yang hampir telanjang dan memakai topi yang hampir mirip keranjang. Orang-orang pribumi beragama Kristen diberikan keharusan untuk memakai pakaian orang-orang Eropa.
Rasa bangsa kolonial atas orang-orang Kristiani yang sama dengan agama mereka memungkinkan keharusan aturan pakaian ini. Orang-orang pribumi Kristiani memakai pakaian Eropa termasuk pula sepatu, topi dan berbagai pernak-pernik lainnya. Etnis Tionghoa diwajibkan memakai pakaian khas Tionghoa dan sangat dilarang memakai unsur pakaian sedikitpun dari pakaian Eropa maupun pribumi. Orang-orang Tionghoa memakai mantel dan topi khas mereka termasuk dengan gaya rambut yang dikucir.
Di Luar Batas-batas: Persoalan Kelas dan Pakaian
Di luar batas-batas aturan tentang pakaian yang dikemukakan oleh rezim kompeni, elite politik Jawa dibiarkan memakai pakaian dengan gaya apapun. Persoalan kelas sosial dan pakaian menjadi semakin menarik dengan adanya hal ini. Orang-orang pribumi dilarang keras agar tidak memakai pakain orang Eropa, dilarang mengadopsi kultur Eropa oleh pemerintah VOC. Namun suatu anomali dalam hal inilah adalah ketika elite-elite aristokrasi Jawa diperbolehkan memakai pakaian orang-orang Eropa.
Pemujaan para raja Jawa atas pakaian orang-orang Eropa dengan berbagai pernak-pernik dipuaskan dengan perangkulan kompeni untuk mereka. Raja Amangkurat II dari Mataram yang dikenal angkuh dan kerap melakukan kudeta terhadap ayahnya, menjadi pelopor garis pemakain pakaian Eropa dalam dinasti politik Jawa. Naskah Babad Tanah Jawa mengisahkan bagaimana Amangkurat II memakai pakaian gaya Barat ketika dalam persiapan untuk perang. Babad fenomenal tersebut menjelaskan:
“Ya Mulia Raja Mangku-Rat, memakai pakaian dan kaus kaki serta sepatu Belanda, celana selutut dengan kancing-kancing di bagian lutut, jas beludru tiga potong, yang terbika di bagian depan, dihiasi dengan renda emas, diperindah dengan perhiasan dan sebuah topi”
Menariknya, dari kasus ini babad menceritakan bahwa tindakan Amangkurat II membuat orang berpikir bahwa ia lebih mirip sebagai seorang putera admiral Belanda daripada putra seorang raja Jawa berdarah biru. Kasus ini kemudian dipolitisasi ketika cecok kudeta istana Mataram yang melibatkan Amangkurat II dimulai. Adik Amangkurat II yang saat itu menjadi musuhnya menyindir dan bertanya kepada penasehatnya, apakah Amangkurat II adalah kakaknya atau bukan?
Setiap hari Amangkurat II bergaya dan berpakaian Barat. Amangkurat II sebagai raja Jawa menikmati bayang-bayang hidup orang Eropa namun di sisi lain para rakyat dan abdi dalem Jawa yang mengabdi pada Amangkurat II, setiap harinya patuh dan tunduk dengan kultur kejawaannya. Hal ini lebih mirip bila diparodikan, Amangkurat sebagai seorang kompeni berkuasa dan bermewah- mewah di atas kepatuhan orang-orang Jawa kepadanya.
Figure elite politik aristokrat yang berpakain gaya Eropa di tengah kumpulan orang-orang pribumi yang mengabdi padanya juga terjadi pada raja Ternate. Berbeda dengan raja Jawa Amangkurat II yang disokong oleh kompeni untuk memakai pakaian ala Eropa, raja Ternate berada dalam konteks konflik dengan Belanda di Batavia, ketika ia memakai pakaian Eropa. Pada 1681 ketika ia tiba di Batavia “ia berpakain kain hitam sesuai dengan gaya Belanda”. Namun istrinya “pasangannya memakai gaun malam yang terbuat dari katun”
EPILOG
Sudah dipahami bahwa kemajemukan budaya dan silang-silang budaya yang ada di Nusantara tidak dapat dilepaskan dari proses sejarah yang panjang. Politik budaya atas pakaian yang dilakukan oleh kompeni VOC memberikan suatu pemahaman bagi kita bahwa pakaian menjadi pertimbangan politik. Pemerintah VOC menjadikan pakaian sebagai pembantu kontrol politik pengawasan mereka. Dengan penduduk yang memakai pakaian sesuai dengan ciri khas etnis mereka masing-masing, pemerintah kompeni dapat mengetahui masing-masing etnis yang sedang diawasi untuk kepentingan kontrol politik.
Di sisi lain, di luar batas-batas aturan soal pakaian yang dilakukan VOC, terdapat persoalan kelas yang tidak bisa dielakan. Nyatanya terdapat elite-eloite politik yang ingin memakai gaya pakaian khas Eropa yang dianggap mewah dan membahana. Dari hal ini kita dapat menarik bahwasannya persoalan kajian pakaian tidak bisa lepas dari persoalan kelas sosial dan persoalan politik.