Orang-orang Pinggir Danau

Raka Putra Pratama
3 min readNov 22, 2024

--

Di tepi sebuah danau kecil di pedalaman Jawa Barat, kampung itu bertahan dengan cerita yang sama setiap hari. Orang-orangnya tidak banyak bicara, seakan angin yang melintasi permukaan air telah membawa semua kata-kata mereka pergi.

Di pagi yang dingin, Mak Emah berjalan dengan keranjang anyaman di pundaknya. Rambutnya yang putih diikat asal. Ia menuju dermaga kayu kecil, tempat ia biasa menjemur ikan asin. Suaminya, Mang Ujang, sudah lama meninggal, dan sejak itu, ia menjadi saksi bisu pergulatan hidup kampung.

Sementara itu, di seberang kampung, di warung kopi Pak Enda, kumpulan pemuda bersandar malas di bangku panjang. Deden, pemuda yang pernah mencoba peruntungan di kota, kembali ke kampung dengan motor butut. Di belakangnya, seorang anak kecil menendang-nendang batu kecil ke arah danau, lalu berhenti untuk melihat hasil tangkapannya di ember kecil: seekor belut yang melingkar.

"Eh, Den, kapan mau nyoba lagi ke kota? Katanya sih peluang kerja lagi banyak," ucap Ujang, salah satu temannya.

Deden hanya tersenyum pahit sambil menyeruput kopi hitam. "Kerja apa? Numpang nginep di kontrakan teman sambil ngojek? Aku sudah capek dikejar mimpi yang tak pernah ada ujungnya. Di sini saja, cari yang pasti."

Mereka terdiam. Suara jangkrik mengisi ruang di antara mereka.

Di tengah kampung, Bu Neni mengajar anak-anak membaca di beranda rumahnya. Ia dulu seorang guru honorer yang diberhentikan karena sekolahnya digusur untuk proyek wisata. Kini, ia mengajar dengan papan tulis kecil yang mulai memudar warnanya. Anak-anak duduk bersila, mendengarkan sambil sesekali mencoret-coret tanah dengan ranting.

"Kita ini tak ada dalam peta, Bu," kata seorang anak. "Kalau ada, kenapa tak ada yang datang untuk memperbaiki jalan?"

Bu Neni terdiam, lalu tersenyum kecil. "Kita tak perlu peta untuk tahu siapa kita. Yang penting, kamu harus pintar, biar tak seperti mereka yang datang lalu pergi membawa harapan palsu."

Menjelang senja, orang-orang kampung berkumpul di tepi danau. Hari ini, ada pengumuman penting dari lurah. Mereka duduk di atas tikar sambil menatap lurah yang berdiri dengan tangan menyilang di dada.

"Ada perusahaan dari kota yang ingin bangun resort di sini," kata lurah. "Katanya, bisa bawa banyak pekerjaan. Tapi... kita harus pindah."

Suasana mendadak riuh. Orang-orang bersahutan, memprotes, dan bertanya. Namun, di tengah keramaian itu, Mak Emah hanya diam. Tatapannya tak pernah lepas dari permukaan danau, tempat kenangan dan suaminya tersimpan.

"Danau ini rumah kita," katanya akhirnya, dengan suara yang gemetar. "Kalau kita pergi, kita mau tinggal di mana? Mau kerja apa? Kota tak pernah butuh orang seperti kita."

Suara Mak Emah menggetarkan yang lain. Orang-orang mulai menyadari bahwa janji-janji yang datang sering kali adalah ilusi yang melumpuhkan.

Malam itu, kampung tetap sunyi seperti biasa, tapi ada tekad yang berbeda di udara. Mereka memutuskan untuk bertahan, meskipun dunia luar terus mencoba memaksa mereka pergi.

Danau itu, meski kecil dan tampak tak berarti, adalah cermin hidup mereka—diam, tenang, tetapi menyimpan kedalaman yang tak pernah dimengerti oleh mereka yang hanya melewatinya.

--

--

Raka Putra Pratama
Raka Putra Pratama

Written by Raka Putra Pratama

from the author | study advertising and popular culture in the postmodern era

No responses yet