Meredupnya Kembali Demokrasi di Indonesia

Raka Putra Pratama
7 min readJun 4, 2020

--

Sumber gambar : https://images.app.goo.gl/wMz2EQZtM8mcidfW9

Demokrasi merupakan asas paling berharga dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Cukup jelas demokrasi tertuang dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Indonesia merupakan negara hukum, hukum digunakan sebagai instrumen untuk menjalankan negara yang demokratis dan berkeadilan. Namun di era rezim Jokowi demokrasi akhir-akhir ini kian meredup dan direduksi oleh para elite. Demokrasi harus kembali dipertanyakan di era rezim Jokowi akhir-akhir ini ?

Beberapa bulan yang lalu kita melihat aksi demonstrasi besar-besaran di ibukota yang diaktori oleh mahasiswa. Polemik RUU KUHP yang akan disahkan, dan disahkannya Revisi UU KPK menjadi agenda utama demonstrasi tersebut. Tidak lama setelah itu, terdapat paket lain yang akan dibentuk untuk oleh rezim Jokowi, Omnibus Law sebagai paket undang-undang sapu jagat oligarki. Akhir-akhir ini yang terbaru adalah disahkannya UU Minerba, kriminalisasi para aktivis, dan ancaman diskusi ilmiah kampus.

Di manakah Demokrasi Ekonomi ?

Di tengah pandemi pemerintah beserta DPR kembali bertindak non-etis dengan disahkannya RUU Minerba sebagai paket oligarki untuk ekspansi ekonomi neo-liberalnya. Dewan Perwakilan Rakyat yang katanya mewakili rakyat di parlemen mengesahkan Revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pada Rapat Paripurna DPR, 12 Mei 2020.

Pengesahan RUU Minerba ini menunjukan kemerosotan demokrasi ekonomi, DPR bukan mewakili rakyat mayoritas namun oligraki. Dilansir dari Kompas.com, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang mengatakan bahwa pembahasan Undang-Undang Minerba tidak melibatkan masyarakat yang berada disekitar tambang. Hal ini menuai polemik di masyarakat, DPR harusnya mewakili suara rakyat banyak, bukan segolongan kecil elite. JJ Rousseau berkata demokrasi adalah suara mayoritas, akan tetapi apakah disahkannya RUU Minerba melibatkan rakyat ? apakah suara mayoritas rakyat Indonesia menginginkan disahkannya paket undang-undang oligarki itu ?

Hal ini menunjukan arah ekonomi Indonesia bukanlah arah ekonomi kerakyatan, namun arah ekonomi pasar bebas. Padahal dalam UUD 1945 Pasal 33 sudah cukup jelas bahwa perekonomian harusnya disusun bersama atas dasar kekeluargaan, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Secara konstitusi, kita melihat ada kekaburan dalam pengesahan RUU Minerba yang hanya mementingkan elite tertentu. Ada semacam hubungan patron-klien antara elite politik dan pemodal, kapitalisme kroni sedang berjalan di Indonesia dan mereduksi apa yang dinamakan demokrasi ekonomi.

Tentu saja hal ini jauh menyimpang dari ajaran para founding father tentang demokrasi ekonomi dan politik Indonesia. Apa yang dikatakan Sukarno tentang sosio-demokrasi dan Hatta tentang demokrasi ekonomi agaknya dibuang jauh oleh para elite politik baik pemerintah ataupun DPR sekarang. Sukarno menyatakan dalam Dibawah Bendera Revolusi bahwa demokrasi Indonesia adalah sosio-demokrasi. Sosio-demokrasi yang dimaksud adalah demokrasi masyarakat, artinya demokrasi Indonesia bukan hanya kepentingan segundukan kecil orang saja. Sosio-demokrasi Indonesia bukanlah demokrasi yang tertuang atas Revolusi Perancis 1789, demokrasi Indonesia adalah demokrasi politik dan ekonomi masyarakat, bukan para elite saja.

Hatta dalam Demokrasi Kita mengatakan, “Demokrasi politik sadja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Disebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi”. Hatta sejalan dengan Sukarno bahwa, demokrasi Indonesia bukanlah demokrasi Barat yang individualis, namun demokrasi kolektivisme, demokrasi rakyat !

Dalam hal kita tidak melihat adanya demokrasi ekonomi di Indonesia. Demokrasi sekarang hanya demokrasi para elite saja. Jika di masa Orde Baru para elite ekonomi atau kapital duduk dekat dengan rezim otoritarianisme, sekarang para elite ekonomi itu duduk manis dan bersahabat dengan rezim neo-liberal Jokowi, oligarki memiliki karpet merah dengan segala undang-undang yang diciptakan untuk kepentingan ekspansi bisnisnya, ada semacam kapitalisme-kroni yang semakin termanifestasi saat ini. Kapitalisme-kroni adalah hubungan dekat antara pembisnis besar sebagai elite ekonomi dan elite politik, ada simbiosis mutualisme diantara keduanya, itulah oligarki.

Meminjam Teori Keadilan John Rawls utamanya Difference Principle yang agaknya cocok untuk memperkuat argumen ini. Difference Principle yang dimaksud adalah bahwa masyarakat yang berangkat dari ketidaksamaan atas status sosial-ekonomi harus dikontrol oleh institusi dengan kebijakannya agar menguntungkan masyarakat yang lemah untuk mencapai titik keadilan yang subtansial.

Dalam konteks ini perancangan dan pengesahan undang-undang harusnya berpihak pada masyarakat sebagai kontrol keadilan, bukan pada elite tertentu. Hal apapun tidak boleh mengesampingkan keadilan bagi masyarakat yang lemah, itulah Teori Keadilan John Rawls. Harus ada distribusi keadilan dalam bidang ekonomi oleh pemerintah yang memiliki otoritas legal-rasional kepada masyarakat.

Kebijakan pengesahan RUU Minerba sangat jelas kontradiktif dengan UUD 1945 Pasal 33 dan ekonomi kerakyatan. Ekonomi Indonesia semakin bergerak ke arah pasar bebas, logika dan konsolidasi kapitalisme neo-liberal semakin terpolarisasi. Neo-imperialisme semakin menggerogoti Indonesia dengan disahkannya RUU Minerba sebagai media ekspansi bisnis oligarki serakah. Tidak ada perundingan dengan masyarakat tentang RUU Minerba, di manakah demokrasi kita saat ini ? ruh demokrasi Indonesia hanya meredup, belum mati !

Meredupnya Demokrasi Politik

Kemudian kita beralih pada demokrasi politik yang kian tereduksi. Kriminalisasi aktvis dan ancaman diskusi ilmiah di UGM menjadi isu hangat akhir-akhir ini. Beberapa pekan lalu kita mengetahui ada penangkapan aktivis Ravio Patra setelah menulis artikel tajam di media, beberapa lama setelahnya akunnya diretas oleh pihak tertentu. Kemudian dia ditangkap dengan dalil menyebarkan pesan provokatif di grup WhatsApp.

Hal serupa terjadi atas diskusi ilmiah baru-baru ini yang mendapatkan ancaman. Diskusi berjudul “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Kenegaraan” yang digelar komunitas mahasiswa CLS FH UGM menjadi sorotan. Diskusi tersebut harusnya diselenggarakan pada 29 Mei 2020, namun jauh sebelum dilaksanakan mendapatkan berbagai intimidasi kepada panitia dan narasumber. Menurut Dekan FH UGM, Prof Sigit Riyanto berbagai bentuk teror dan intimidasi diterima oleh pembicara, moderator, narahubung, hingga ketua CLS sejak Kamis 28 Mei 2020. Mulai dari ancaman pembunuhan dengan pesan tertulis , pengiriman pemesanan ojek online, hingga peretasan.

Peretasan dilakukan pada 29 Mei 2020 dengan menyalahgunakan akun yang diretas untuk menyatakan pembatalan acara diskusi ilmiah yang akan digelar sekaligus mengeluarkan peserta dalam grup diskusi. Entah siapa oknum peretasan tersebut, yang jelas hal ini menjadi pola baru dalam fenomena menyuarakan kebebasan berpendapat. Di era Orde Baru para aktivis diculik saat menyuarakan kebebasan berpendapat, di era sekarang terdapat pola baru yaitu peretasan akun media sosial.

Masih dengan Teori Keadilan John Rawls, dalam bagian equal liberty principle yang menjelaskan bahwa setiap orang memiliki kebebasan yang sama. Kebebasan yang sama dalam kemerdekaan berpolitik (political of liberty), kebebasan berpendapat, dan mengemukakan ekspresi (freedom of speech and expression), serta kebebasan beragama (freedom of religion).

Dalam konteks ini apa yang dikatakan John Rawls tentang prinsip kebebasan berpendapat dan berekspresi (freedom of speech and expression) kian tereduksi di Indonesia. Kebebasan berpendapat individu sebagai mahluk politik (homo politicus) semakin terancam dengan memburuknya iklim demokrasi yang ditandai dengan kriminalisasi terhadap individu atau kelompok yang menyuarakan kebebasan berpendapat. Masyarakat memiliki hak yang sama dalam berpolitik, tidak memandang latar belakang sosial-ekonomi karena kebebasan berpendapat adalah hal vital dalam negara demokrasi dan hal itu ditegaskan dalam konstitusi Indonesia.

Disahkannya RUU Minerba, kriminalisasi para aktivis, intimidasi diskusi ilmiah, dan banyak hal lain, menunjukan tidak sehatnya iklim demokrasi di Indonesia akhir-akhir ini. Baik itu demokrasi politik maupun ekonomi. Demokrasi ekonomi rakyat semakin direduksi oleh para elite untuk kepentingan dan agenda neo-liberalnya. Demokrasi politik kian meredup, kebebasan berpendapat kian terancam dengan iklim demokrasi yang sedang tidak sehat.

Bangkit dan Redupnya Demokrasi Indonesia

Secara historis kita pernah berada di bawah naungan imperialisme kuno Majapahit, kemudian datang kompeni VOC pada abad ke-17 yang berkuasa di sebagian besar tanah Jawa dan Maluku. Setelahnya, kolonialisme Belanda mulai nyata di awal abad ke-19 dan meluaskan ekspansi kolonial ke penjuru Nusantara. Indonesia saat itu berada di bawah kolonialisme semi feodal yang diskriminatif, konservatif, eksploitatif dan tak ada wujud demokrasi yang nyata.

Namun demokrasi Indonesia tumbuh di jiwa masyarakat kecil pedesaan. Masyarakat pedesaan saat itu mengadakan protes bersama terhadap aturan raja yang feodalistik bilamana aturan benar-benar memberatkan. Demokrasi Indonesia juga tumbuh perlahan atas dasar musyawarah, mufakat, dan gotong royong dalam masyarakat. Seiring berjalannya waktu pemerintah Hindia Belanda di Bawah Gubernur Jenderal van Limburg Stirum yang liberal memberikan sedikit ruang untuk berdemokrasi dengan didirikannya Volksard walau hanya sekedar penasehat gubernur jenderal.

Di masa pendudukan Jepang demokrasi Indonesia kembali meredup dengan corak rezim totaliter Jepang. Di awal masa kemerdekaan demokrasi Indonesia kian memuncak, berbagai lembaga dibentuk untuk menampung aspirasi masyarakat dan menghidupkan asas demokrasi. Terjadi banyak perselisihan dalam ruang demokrasi pada saat itu.

Kemudian demokrasi Indonesia kembali meredup di masa rezim otoriter Orde Baru. Kebebasan berpendapat direduksi, berbagai pers yang mengancam keselamatan rezim Orde Baru dibredel, pemilu hanya sekedar formalitas karena tahu siapa yang akan jadi pemenang. Oposisi dibungkam, apabila ada salah satu partai yang berani bergerak lebih progresif dan menentang rezim pemerintah, beberapa lama setelahnya terjadi kegaduhan dalam partai tersebut. Penculikan, pembunuhan, dan kriminalisasi para aktvis merupakan hal yang sering terjadi di masa Orde Baru. Hingga pada 1998, demokrasi Indonesia menunjukan ruhnya, demokrasi Indonesia kembali hidup. Rezim otoritarianisme Orde Baru tumbang oleh luapan demonstrasi mahasiswa di ibukota.

Di era Reformasi, terjadi transisi dari otoritarianisme menuju demokratisasi. Berbagai agenda untuk menciptakan negara demokratis dibuat dan dijalankan. Terjadi romantisme atas demokrasi yang sebelumnya terpendam di bawah rezim Orde Baru. Namun, demokrasi Indonesia di era Reformasi hanyalah demokrasi politik, demokrasi ekonomi harus dipertanyakan. Di era Reformasi demokrasi ekonomi kian bersinggungan dengan ekspansi neo-liberalisme serakah. Demokrasi Indonesia seolah hanyalah demokrasi politik saja, tidak ada demokrasi ekonomi sebagai wujud ekonomi kerakyatan yang ada hanya demokrasi ekonomi para elite.

Akhir-akhir ini demokrasi Indonesia kian meredup bukan saja meredupnya demokrasi ekonomi yang memang sudah nyata dari awal Reformasi, tapi memburuknya iklim demokrasi politik. Ruh demokrasi kita kembali meredup, adalah takdir historis bahwa demokrasi Indonesia tidak akan melenyap, demokrasi Indonesia hanya meredup. Ruh demokrasi Indonesia akan kembali hidup dan menggaung, bukan hanya demokrasi politik namun seperti apa yang diharapkan oleh rakyat dan founding father yaitu demokrasi ekonomi !

Sumber referensi

John Rawls, Theory of Justice

JJ Rosseau, Du Contract Social

Sukarno, Dibawah Bendera Revolusi

Hatta, Demokrasi Kita

--

--

Raka Putra Pratama
Raka Putra Pratama

Written by Raka Putra Pratama

from the author-activist | study advertising and popular culture in the postmodern era

No responses yet