Mengurai Parrhesia: Foucault dan Keberanian Bicara Benar
Bayangkan seorang pemuda Yunani kuno berdiri di hadapan massa. Di tangannya tak ada pedang atau perisai, namun di dadanya bergemuruh kebenaran yang siap ia sampaikan. Di hadapannya adalah penguasa kota, sosok yang kuat namun penuh tipu muslihat. Sang pemuda tahu, apa yang akan ia katakan bisa mengancam hidupnya, namun diam bukan pilihan. Inilah parrhesia, keberanian untuk berbicara jujur, meski dunia di sekitarnya mungkin akan runtuh.
Michel Foucault, filsuf asal Prancis yang dikenal dengan analisisnya tentang kekuasaan dan kebenaran, terpesona oleh keberanian semacam ini. Di akhir hidupnya, Foucault mulai menggali kembali konsep kuno Yunani tersebut. Ia melihat bahwa parrhesia bukan sekadar berbicara, melainkan sebuah tindakan yang berisiko. Dalam dunia yang sering kali dikuasai oleh kepalsuan, keberanian untuk berkata benar, terutama ketika kebenaran itu tak nyaman bagi mereka yang berkuasa, adalah sebuah revolusi kecil.
Berbicara Jujur Meski Berisiko
Foucault mengingatkan kita bahwa parrhesia melibatkan risiko nyata. Seorang parrhesiastes, orang yang berbicara dengan parrhesia, tidak hanya mengucapkan kebenaran, tetapi juga siap menerima konsekuensinya. Kebenaran yang diucapkan mungkin menyakitkan, mungkin berbahaya, tetapi itulah tugas seorang parrhesiastes. Di dunia yang penuh dengan manipulasi dan kebohongan, mereka yang berani berbicara jujur sering kali menjadi ancaman.
Dalam sejarah, kita melihat banyak contoh keberanian seperti ini. Socrates, misalnya, yang lebih memilih mati daripada berhenti menyampaikan kebenarannya tentang moralitas dan keadilan. Atau Galileo, yang menentang dogma gereja dengan kebenaran ilmiah, meski ia harus hidup dalam ancaman dan pengucilan.
Namun, parrhesia tidak selalu harus berada dalam konteks drama besar seperti itu. Foucault menunjukkan bahwa keberanian berbicara kebenaran juga bisa terjadi dalam keseharian—di kantor, di ruang rapat, bahkan di meja makan keluarga. Kapan terakhir kali seseorang berani menyuarakan apa yang mereka pikirkan, meski tahu bahwa pendapat itu akan membuatnya tidak disukai atau diabaikan? Di sini, parrhesia menjadi tindakan moral yang melibatkan integritas dan keberanian diri.
Kebenaran dan Kekuasaan: Sebuah Pertarungan Abadi
Dalam dunia Foucault, kekuasaan dan kebenaran tidak pernah berjalan berdampingan dengan damai. Kekuasaan, menurutnya, selalu berusaha mengendalikan kebenaran—memilih mana yang layak diungkap dan mana yang harus disembunyikan. Parrhesia muncul sebagai gangguan dalam tatanan ini. Ketika seseorang berbicara kebenaran kepada kekuasaan, ia merusak permainan yang sedang berjalan.
Foucault mencatat bahwa di masa Yunani kuno, parrhesia dianggap penting dalam sistem demokrasi. Setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban untuk berbicara, dan kebenaran adalah fondasi dari kebebasan. Namun, ketika masyarakat bergeser menuju sistem monarki atau otoritarian, parrhesia mulai hilang. Penguasa lebih memilih mendengar apa yang ingin mereka dengar, daripada dihadapkan pada kebenaran yang bisa melemahkan kekuasaan mereka.
Foucault, dalam pencariannya terhadap makna parrhesia, melihat bahwa dalam sejarah, saat-saat terpenting selalu ditandai oleh mereka yang berani berkata benar, bahkan ketika itu berbahaya. Demokrasi pun sekarat tanpa keberanian semacam ini.
Parrhesia sebagai Etika Diri
Namun, keberanian berbicara kebenaran tidak hanya soal politik. Bagi Foucault, parrhesia juga tentang bagaimana seseorang hidup dengan diri mereka sendiri. Dalam pandangan Foucault, ada sesuatu yang sangat pribadi dalam tindakan berbicara jujur. Ketika seseorang memilih untuk berkata benar, mereka juga memilih untuk hidup selaras dengan diri mereka sendiri. Parrhesia adalah cara seseorang merawat diri mereka secara etis.
Foucault melihat bahwa dalam kehidupan Yunani kuno, filsafat tidak hanya tentang pengetahuan atau teori. Filsafat adalah cara hidup, dan berbicara kebenaran adalah bagian dari bagaimana seseorang menjadi manusia yang baik. Ketika kita memilih untuk menyembunyikan kebenaran atau berbohong, kita tidak hanya mengkhianati orang lain, tetapi juga mengkhianati diri kita sendiri. Dalam setiap kata yang kita ucapkan, ada pertaruhan moral yang besar.
Parrhesia dalam Dunia Modern
Hari ini, kita hidup di zaman yang berbeda dari Yunani kuno, namun tantangan berbicara kebenaran tetap sama. Dalam dunia politik, media, bahkan dalam interaksi sosial sehari-hari, keberanian untuk berbicara jujur sering kali menjadi barang langka. Di saat yang sama, kita menyaksikan bagaimana kepalsuan dan manipulasi informasi bisa menghancurkan kepercayaan publik dan membahayakan kehidupan bersama.
Foucault mengingatkan kita bahwa parrhesia adalah tindakan yang sangat penting di masa kini. Di tengah-tengah arus kebohongan, mereka yang berani mengungkap kebenaran adalah penjaga integritas moral dan sosial. Mungkin mereka akan dibenci, mungkin mereka akan ditertawakan, tetapi di sanalah esensi parrhesia—berani, meski tahu risikonya besar.
Kita mungkin tidak lagi hidup di bawah bayang-bayang tiran Yunani, tetapi di dunia yang penuh dengan kebohongan, manipulasi, dan ketidakpastian, parrhesia tetap menjadi cahaya yang membimbing. Setiap dari kita, dalam kapasitas masing-masing, dihadapkan pada pilihan: diam dan membiarkan kepalsuan menguasai, atau berbicara dan mengambil risiko. Parrhesia menuntun kita untuk berani memilih yang terakhir.