Membaca Umi Sardjono: Feminis Marxis dan Politik Pengasingan

Raka Putra Pratama
10 min readJan 11, 2022

--

Ketika kita membicara pahlawan perempuan yang muncul dalam catatan sejarah adalah nama-nama seperti R.A Kartini, Dewi Sartika, Inggit Garnasih hingga tokoh yang tidak masuk secara logika kepahlawan seperti Cut Nya Dien. Padahal dari luasnya masa lalu yang berkisah tentang perempuan, begitu banyak orang-orang yang seharusnya kita jadikan pahlawan. Salah satu perempuan tersebut akan dibahas dalam tulisan ini.

Perempuan tersebut bernama Umi Sardjono. Nama Umi Sardjono sangat asing di telinga orang-orang yang hanya mengenal sejarah dari sekolahan apalagi di telinga orang-orang yang sama sekali tidak tertarik dengan sejarah. Hal ini akan berbalik ketika nama Umi Sardjono di dengar oleh-oleh yang melek sejarah namun sangat anti terhadap politik kiri. Ketika mendengar namanya apalagi membesar-besarkan peranannya, orang-orang tersebut mungkin akan mencaci maki habis-habisan. Siapakah sebenarnya Umi Sardjono? Mengapa nama ini begitu asing di telinga –bahkan di kalangan aktivis feminis Indonesia, dan mengapa nama ini begitu dibenci oleh orang-orang melek sejarah namun anti terhadap politik kiri?

Umi Sardjono merupakan Ketua Gerwani atau Gerakan Wanita Indonesia. Gerwani merupakan organisasi wanita dengan massa yang sangat besar dan cenderung memiliki haluan ke kiri. Ketika orang-orang mendengar nama Gerwani saja, yang terpikir adalah wanita biadab yang menari-nari telanjang sembari menyayat Dewan Jenderal dalam peristiwa G30S. Tentunya semua orang akan kaget bilamana tulisan ini bermaksud memperlihatkan peran besar ketua-nya, Umi Sardjono. Politik historiografi Orde Baru berhasil membuat propaganda yang masif dalam mengikis orang-orang dalam catatan sejarah Indonesia modern.

Tulisan ini akan mengulas Umi Sardjono dalam perjuangannya dari kolonialisme hingga berakhir tragis di politik pengasingan Orde Baru. Bagian pertama akan mengulas masa muda Umi Sardjono, tentang titik tolak Umi dalam dunia pergerakan. Dari bagian ini kita akan melihat bagaimana Umi bisa berkenalan dengan gagasan-gagasan sosialisme, feminisme dan nasionalisme. Bagian pertama juga menjelaskan perkenalan Umi dengan rekannya S.K Trimurti. Dibagian kedua, akan dianalisis perjuangan Umi Sardjono dalam masa kemerdekaan, di mulai dari pendirian BBW, Gerwis hingga menahkodai Gerwani. Di sini juga akan ditekankan perjalanan Umi yang harus berada di kamp Plantungan. Bagian ketiga atau terakhir dalam tulisan ini akan mengurai konsep kepahlawanan, ‘tulisan ini akan berargumen bahwa Umi cocok dianggap sebagai pahlawan kaum perempuan’.

Benih Yang Baik

Lahir di Salatiga Jawa Tengah pada 24 Desember 1923 dengan nama Suharti Sumodiwiryo, perempuan ini merupakan anak dari seorang juru tulis dan hidup lekat dengan nuansa feodalisme Jawa. Suharti atau Umi Sardjono merupakan anak yang beruntung, Suharti dapat menikmati pendidikan HIS di antara teman-teman perempuannya yang hanya berurusan dengan dapur, sumur dan kasur. Semasa kecilnya Suharti banyak membaca karya-karya hebat yang menambah wahana pengetahuan, termasuk karya Habis Gelap Terbitlah Terang sebagai tulisan-tulisan R.A Kartini (Ruth, 2017)[1] .

Nasib Umi benar-benar beruntung, pada dekade kedua abad keduapuluh, sedikit perempuan pribumi yang dapat menempuh pendidikan modern apalagi sistem pendidikan kolonial (De Stuers, 2017: 43–85) Struktur kolonialisme patriarki yang bias gender -menempatkan perempuan di posisi subordinat, ditambah dengan wacana rasisme kolonial yang menjadi karakter umum, tidak membuatnya merasa terkekang dalam tempurung. Semasa kecilnya Umi mengagumi S.K Trimurti, Umi mengenal Trimurti dari ayahnya dan majalah-majalah yang beredar. Umi mengagumi gagasan-gagasan S.K Trimurti yang menggugah semangat emansipasi perempuan.

Di masa mudanya, Umi tidak hanya melahap bacaan-bacaan yang menambah wawasan tentang emansipasi perempuan tapi juga berpartisipasi langsung dalam dunia politik. Umi Sardjono masuk ke dalam Gerindo yang saat itu berada di bawah pimpinan Amir Sjarifudin. Di dalam Gerindo -yang banyak disusupi oleh kaum kiri, Umi mulai mengenal gagasan-gagasan sosialisme dan nasionalisme. Di dalam partai itulah dunia pergerakan Umi di mulai. Gerindo merupakan partai yang banyak didesas-desuskan sebagai sarang PKI ilegal .[2] Orang-orang kiri seperti Amir, D.N Aidit, Sutrisno, Sukarni, Wikana dan sejenisnya berada dalam lingkaran Gerindo.

Masuknya Umi ke dalam Gerindo bukan hanya titik tolak dia berada dalam dunia politik dan berkenalan dengan teori-teori sosialisme tapi juga awal penemuan jodohnya. Di dalam Gerindo, Umi berkenalan dengan Sukisman yang kelas menjadi suaminya (Ruth, 2017). Sukisman merupakan mantan Ketua PKI setelah Muso. Sampai di sini kita memahami bahwa Gerindo menjadi titik tolak atau berangkat Umi dalam dunia politik.

Kiprah Umi di dalam Gerindo tidak lama karena harus berhadapan dengan rezim fasis pendudukan Jepang yang berdiri sejak 1942. Pemerintah militer Jepang melarang keras segala-gala aktivitas politik yang mengganggu rezim pendudukan termasuk dengan membubarkan partai-partai politik. Rezim pendudukan melakukan strategi politik massa untuk menggaet seluruh lapisan penduduk pribumi, memasukan mereka ke dalam organisasi-organisasi militer dan semi militer demi menciptakan barisan yang loyal terhadap Jepang dalam perang melawan sekutu di PD-2.

Munculnya struktur baru yang mengekang bernama rezim pendudukan, menciptakan konsekuensi logis munculnya gerakan bawah tanah yang anti terhadap metode fasisme pendudukan. Umi Sardjono dan kawannya bergerak di bawah tanah untuk menentang rezim pendudukan Jepang. Di masa pendudukan Jepang inilah Suharti memakai nama samaran Umi. Nama Umi yang dipakai hingga akhir hayatnya, merupakan nama samaran untuk pergerakan bawah tanah pada masa pendudukan. Pergerakan bawah tanah yang dilakukan Umi dan kawan-kawannya bukan main hebatnya. Umi melakukan berbagai strategi mulai dari propaganda diam-diam, sabotase hingga samar menyamar.

Pada masa pendudukan Umi telah menikah dengan Sukisman. Umi dan Sukisman berjuang bersama dengan para pemuda kiri yang sama-sama bergerak di bawah tanah. Umi pernah menyamar menjadi penjaga warung di Blitar tepatnya dekat tangsi militer Jepang. Setiap harinya Umi mendapatkan berbagai informasi mengenai politik pendudukan Jepang, perang dan penyiksaan yang dilakukan tentara Jepang terhadap para pembangkang.

Pada 1943, penyamaran Umi dan suaminya terbongkar. Warung Umi dan Sukisman dikepung, mereka akhirnya ditahan oleh militer Jepang. Umi dianggap terlibat dalam pemberontakan PETA di Blitar. Semasa di kamp penahan, Umi mengalami siksaan keras dari militer Jepang seperti yang dialami tawanan lainnya. Di dalam tahanan, Umi Sardjono digantung seperti ‘kalong’. Kakinya berada di atas dan diikat, kepalanya menghadap ke bawah. Dalam keadaan digantung seperti itu, Umi disiksa habis-habisan dan disuruh minum air kencing-nya sendiri (Ruth, 2017).

Dalam Gelombang Revolusi

Pasca Kemerdekaan Dua hari setelah proklamasi, kamp tahanan di Blitar bersama para tentara Jepang diserang habis-habisan oleh pemuda kiri. Para tahanan termasuk Umi dan suaminya dibebaskan oleh barisan pemuda kiri. Selama awal-awal kemerdekaan, Umi dan suaminya ditampung di rumah Soekarno yang berada di Blitar. Perjuangan Umi tidak selesai sampai di situ, Umi bergabung dengan Barisan Buruh Indonesia yang berada di bawah naungan Partai Buruh Indonesia. Di dalam barisan BBI, Umi berkenalan dengan orang yang sangat dikaguminya yaitu S.K Trimuti. Barisan Buruh Indonesia didominasi oleh laki-laki, termasuk para pengurusnya. Melihat BBI yang bias gender, Umi dan S.K Trimurti mendirikan Barisan Buruh Wanita, serikat buruh yang menampung para buruh perempuan (Ruth, 2017).

Di awal kemerdekaan, para buruh perempuan tidak memiliki kekuatan serikat kerja untuk melindungi mereka. Di sisi lain, para buruh perempuan yang kerja di pabrik-parbik para kapitalis, rentan sekali mengalami eksplotasi. Persoalan buruh perempuan berarti harus ada kekuatan yang menyuarakan keresahannya. Pendirian BBW oleh Umi dan S.K Trimuti adalah solusi konkret untuk mewujudkan wadah aman dan saluran keresahan politik kaum buruh perempuan. Di dalam BBW, Umi dan S.K Trimurti sebagai ketuanya menampung begitu banyak buruh dan memberikan gagasan-gagasan mengenai sosialisme.

BBW juga menjadi wadah pegerakan anti-kolonial para buruh perempuan pada masa revolusi. Perjuangan Umi dalam Barisan Buruh Wanita tidak berlangsung lama karena Umi harus kembali menjadi tahanan politik. Pada 1948, Umi yang berada dekat dengan Pesindo, PKI, FDR dan berbagai golongan kiri lainnya terlibat dalam Madiun Affair. Kabinet Hatta menembak mati dan menahan orang-orang yang terlibat dengan Madiun Affair termasuk Umi Sardjono. Umi dan Sukisma suaminya, ditahan selama berbulan-bulan hingga akhirnya dibebaskan (Ruth, 2017; Poeze, 2011).[3]

Pucuk Menara, Jeritan Penjara

Pasca perjuangan revolusi Indonesia selesai dan Indonesia diakui kedaulatannya oleh Belanda, Umi kembali bergerak untuk memberdayakan kaum perempuan. Kowani telah berdiri sebagai organisasi perempuan yang cukup besar. Namun Umi Sardjono menganggap Kowani berhaluan pro-borjuasi dan rentan disusupi neo-imperialisme. Umi menjelaskan secara jeli tentang peristiwa ini. mengecam keras sikap Kowani dalam Women’s International Democratic Federation yang dinilai pro-imperialis dan borjuis (Ruth, 2017).

Kekecewaan Umi terhadap Kowani membuatnya semakin resah dengan pergerakan perempuan Indonesia. Umi kemudian mengajak S.K Trimurti dan Trees Metty, untuk membentuk organisasi perempuan baru yang lebih progresif dan revolusioner. Umi, Trimurti dan Metty membentuk Gerwis atau Gerakan Wanita Sedar pada 4 Juni 1950. Gerwis merupakan gabungan dari enam organisasi wanita yaitu: Rupindo, Persatuan Wanita Sedar, Isteri Sedar, Gerwindo, Wanita Madura dan Persatuan Puteri Republik Indonesia. Enam organisasi perempuan yang tersebar di berbagai daerah tersebut meleburkan diri dan membentuk Gerwis. Gerwis merupakan organisasi perempuan yang anggotanya terdiri dari latar belakang. Gerwis terdiri dari berbagai latar belakang ideologi, kelas sosial dan golongan (Wieringa, 2002: 141).

S.K Trimurti menjadi pemimpin atau ketua umum dari Gerwis. Dalam Gerwis, Umi Sardjono mendapatkan angin segar yang bisa menstimulus agenda politiknya. Umi Sardjono yang berideologi komunis berusaha mendekatkan Gerwis dengan orang-orang kiri terutama PKI. Di sisi lain Politbiro PKI berusaha menjadikan Gerwis sebagai sayap wanita komunis (Wieringa, 2002: 143–146). Gerwis mengadakan kongres besar setiap tahunnya, dalam setiap kongresnya dipetakan haluan pergerakan hingga program kerja.

Pada 1954 Gerwis berubah nama menjadi Gerwani. Pada tahun 1954 inilah Umi Sardjono menjadi ketuanya dan S.K Trimurti turun tahta dari jabatan ketua umum. Kepemimpinan Umi membawa Gerwani naik pesat dan menjadikannya sebagai organisasi massa yang progresif revolusioner. Gerwani di bawah Umi berhasil menggaet kader hingga jumlah puluhan ribu banyaknya, dari yang awalnya berjumlah 6.000 orang menjadi 80.000 orang (Wieringa, 2002: 152).Kader Gerwani menyebar di berbagai daerah baik itu Jawa pesisir, pedalaman dan di luar Jawa.

Gerwani di bawah Umi memiliki program-program yang berusaha mendorong kebijakan politik agar berpihak pada perempuan. Gerwani terlibat aktif dalam mengkritisi dan mencampurtangani UU Perkawinan, menentang poligami, memperjuangkan kelas buruh perempuan, berpartisipasi dalam perjuangan Irian Barat dan ganyang Malaysia, melakukan pemberantasan perempuan buta huruf, mendorong kesejahteraan kaum tani hingga menuntut disahkannya land reform (Wieringa, 2002: 152–190). Dapat disimpulkan bahwa Umi Sardjono sukses besar dalam menahkodai organisasi perempuan terbesar ini.

Pada saat mencapai puncak-puncak kejayaanya sebagai organisasi perempuan terbesar di Indonesia, Gerwani harus menerima kenyataan pahit. Gerwani difitnah terlibat dalam peristiwa 1 Oktober atau G30S. Koran Angkatan Darat mengedarkan propaganda bohong bahwa Gerwani menari-nari telanjang, menyayat wajah Dewan Jenderal dan memotong alat kelaminnya (Anderson, 1987; Wieringa, 2002: 290–310). Klaim bohong Angkatan Darat ini membuat Gerwani terpaksa dibubarkan, anggota-anggotanya dibunuh, diperkosa dan dipenjara belasan tahun ‘tanpa diadili. Umi Sardjono sebagai Ketua Gerwani ditangkap dan dijebloskan ke penjara Bukit Duri hingga akhirnya ke Plantungan. Umi dipaksa oleh Angkatan Darat untuk mengaku bahwa Gerwani terlibat di Lubang Buaya. Umi berkali-kali disiksa dan dilecehkan untuk dipaksa mengakui bahwa Gerwani terlibat. Namun Umi keras pendirian dan jujur apa adanya, bahwa Gerwani sama-sekali tidak terlibat dalam G30S.

Selama 14 tahun dipenjara, Umi menghabiskan hari-harinya dengan penuh penderitaan mulai dari dilecehkan, disiksa hingga kelaparan. Umi baru keluar dari penjara pada 1979. Sepulang dari penjara Umi tetap mengalami penderitaan tiada habisnya mulai dari stigma masyarakat hingga diskriminasi pemerintah. Umi tinggal di Tegalan, Jakarta Timur di rumah keponakannya. Umi kembali hidup dengan suaminya, Sukisman yang pulang dari Pulau Buru. Dalam menjalankan roda perekonomian, Umi membuka warung makan kecil-kecilan di Tegalan. Para tetangga Umi Sardjono bersikap baik padanya, dan banyak tidak mengetahui bahwa Umi adalah mantan Ketua Gerwani (Lilik, 2011).

Di masa tuanya Umi mengalami sakit-sakitan parah dan harus keluar masuk rumah sakit. Keadan sakit-sakitan Umi tidak disokong oleh keuangan yang mumpuni hingga mengharuskan Umi mengandalkan bantuan keluarga dan tetangga untuk berobat. Keadaan sakit Umi juga ditambah fakta bahwa Umi mengalami trauma mendalam akibat kekerasan militer Orde Baru selama ia dipenjara. Ketika melihat dan mendengar kata ‘silet’, Umi sering teriak-teriak dan menangis histeris (Lilik, 2011). Pada 11 Maret 2011, Umi Sardjono wafat dan dimakamkan di TPU Cipinang Asem, Kampung Makasar, Jakarta Timur. Batu nisannya bertuliskan ‘ Suharti Sumodiwiryo’, nama kelahirannya, bukan Umi Sardjono.

Ontologi Tentang Pahlawan

Perjuangan Umi Sardjono patut kita apresiasi dan harus menjadi perhatian sejarawan. Perjuangannya dari era kolonialisme hingga politik pengasingan membutuhkan pengorbanan besar. Dari masa mudanya yang terlibat aktif dalam pergerakan politik, membaca berbagai literatur tentang sosialisme dan feminisme hingga ia menjadi Ketua Umum Gerwani, tentunya bukan proses yang singkat. Puncak dan peran tertinggi Umi yang harus diapresiasi adalah ketika dia menjadi Ketua Gerwani. Mengapa? Hal ini dikarenakan Umi Sardjono semasa menjabat berhasil membuat Gerwani bergerak lebih jauh untuk mengangkat derajat kaum perempuan Indonesia.

Gerwani di bawah Umi menjadi payung perempuan Indonesia. Hak-hak mendasar perempuan seperti pendidikan, upah layak hingga keadilan dalam perkawinan Umi perjuangan. Perempuan Indonesia yang masih banyak buta huruf, diperhatikan sedemikian rupa hingga persoalan tersebut diangkat menjadi program pemberatansan buta huruf perempuan. Kelas buruh perempuan yang mendapatkan gaji jauh dari kata layak, timpang dengan laki-laki dan rentan dilecehkan, diperjuangkan besar-besaran oleh Gerwani di bawah kepemimpinan Umi. Persoalan pernikahan dan poligami menjadi perhatian keras Gerwani, Umi Sardjono sebagai ketuanya menentang segala-gala bentuk poligami.

Lantas kiranya Umi cocok diangkat sebagai figur sejarah perempuan Indonesia, Umi harus dilihat sebagai tokoh emansipasi perempuan Indonesia. Pahlawan tidaklah selalu orang-orang yang berperang dalam medan pertempuran hingga berdarah-darah. Pahlawan juga tidak selalu merujuk pada orang yang gagah berani melawan musuh-musuh politiknya dan membela habis-habisan bangsanya. Apa yang dikatakan pahlawan harus kembali direkonstruksi. Pahlawan harus dilihat sebagai orang yang membebaskan segala-gala bentuk pemerasan dari manusia oleh manusia lainnya.

Umi Sardjono kiranya telah berhasil menegaskan emansipasi kaum perempuan di Indonesia. Konstruksi sejarah Orde Baru yang mendiskreditkan kaum kiri yang membentuk rezim berpikir bahwa seolah kaum kiri adalah musuh negara, bukan berarti halangan untuk mengangkat kaum kiri dalam barisan dan catatan kepahlawanan. Persoalan Umi Sardjono sudah seharusnya menjadi perhatian bersama, kita perjuangkan bersama dan suarakan bahwasannya orang ini layak dianggap pahlawan kaum perempuan!

Catatan Kaki

[1] Ruth Indiah Rahayu merupakan seorang akademisi dan aktivis feminis yang banyak memperhatikan sejarah buruh perempuan. Ruth menulis artikel di IndoProgress –sebuah majalah Marxis- mengenai perjuangan Umi Sardjono. Data atau sumber yang digunakan Ruth berasal dari wawancaranya dengan Umi Sardjono, sebelum Umi meninggal.

[2] PKI Ilegal merupakan PKI yang bergerak di bawah tanah sejak PKI dibubarkan oleh pemerintah kolonial pasca pemberontakan 1926/1927. Amir banyak disebut sebagai agen dari PKI Ilegal,

[3] Persoalan Peristiwa Madiun 1948 dibahas komprehensif oleh Harry Poeze. Poeze, menjelaskan secara jeli tentang peristiwa ini.

Daftar Pustaka

Anderson, Benedict. (1987). How Did The General Die?. Cornell University Southeast Asia Program, Indonesia, Vol 43 (4).

De Stuers, Vreede. (2017). Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian. Depok: Komunitas Bambu.

Lilik, H.S. (2011). Jalan Teguh Sang Pemimpin. https://indoprogress.com/2011/04/jalan-teguh-sang-pemimpin/. Diakses pada 17 Desember 2021.

Poeze, A. Harry. (2011). Madiun 1948: PKI Bergerak. Jakarta: KITLV-Jakarta.

Rahayu, Ruth. (2017). Umi Sardjono: Feminis Marxis Yang Menahkodai Gerwani. IndoPROGRESS. https://indoprogress.com/2017/02/umi-sardjono-feminis-marxis-yang-menakhodai -gerwani/. Diakses pada 16 Desember 2021.

Wieringa, Saskia. (2002). Sexuality Politics Indonesia. New York: Institute of Social Studies

--

--

Raka Putra Pratama

writer and socio worker | dive into digital marketing and popular culture in postmodern era