Masalah Perut dan Carut-marut Urban
Kota selalu identik dengan kemakmuran, modernitas, dan peluang. Namun, di balik gemerlap lampu jalanan dan gedung pencakar langit, ada "perut-perut" yang lapar—lambang dari ketimpangan yang mengakar dalam. Di sini, perut bukan hanya sekadar lambang fisik, tapi metafora bagi kegelisahan kelas pekerja dan masyarakat kelas bawah yang setiap harinya harus bergelut dengan kerasnya kehidupan kota.
Ketimpangan, kemiskinan, dan pengangguran merangkak di antara trotoar dan gang sempit, tak terlihat oleh sorot media yang lebih memilih memotret gedung pencakar langit. Ketika ekonomi politik berbasis kelas diuraikan, jelas terlihat bagaimana kota tak lagi menjadi ruang hidup bagi semua. Janji-janji kemakmuran hanya dirasakan segelintir, sementara banyak lainnya terjebak dalam siklus kemiskinan yang tak berujung.
Ruang Urban dan Ilusi Kemajuan
Kelas menengah, yang sering dianggap sebagai lambang keberhasilan ekonomi, kini menghadapi realitas yang jauh dari ekspektasi. Gaji mereka stagnan, daya beli melemah, sementara harga kebutuhan pokok terus melonjak. Mereka terjebak dalam utang, berlomba mempertahankan gaya hidup yang dianggap sebagai norma baru. Ibarat berada di atas tali tipis, mereka rentan jatuh ke jurang kemiskinan, terutama di tengah kondisi ekonomi Indonesia yang belakangan ini semakin tidak menentu. Fluktuasi ekonomi global, inflasi, dan ketidakpastian politik membuat kelas menengah seperti berjalan di atas pasir hisap—semakin berusaha bertahan, semakin dalam mereka terbenam.
Menurut data terbaru, lebih dari 20% dari kelas menengah di Indonesia berada di ambang kemiskinan, di mana mereka bisa terjun ke jurang kemiskinan hanya karena satu krisis kecil: kehilangan pekerjaan, jatuh sakit, atau gagal membayar utang.
Pengeluaran kelas menengah saat ini hampir seluruhnya terkuras untuk kebutuhan esensial seperti pendidikan anak, cicilan rumah, dan biaya kesehatan. Namun, dengan harga kebutuhan pokok yang terus meningkat, mereka semakin terjepit. Alih-alih menabung untuk masa depan, banyak yang justru menambah utang untuk bisa bertahan. Kelas menengah yang dulunya dianggap sebagai motor ekonomi sekarang lebih seperti penumpang yang terombang-ambing oleh gelombang besar krisis ekonomi.
Banyak dari mereka kini beralih menjadi pekerja gig, memasuki ruang ketidakpastian yang semakin menyempit. Hidup di tengah kota yang katanya penuh peluang, mereka kini merasa terjebak dalam labirin utang dan kebutuhan yang tak pernah selesai. Ketimpangan antara si kaya dan si miskin semakin nyata, terlihat dari perbedaan akses pada pendidikan, kesehatan, dan perumahan.
Ketika gelombang PHK massal melanda berbagai sektor industri, ribuan buruh seperti Dedi kehilangan pekerjaan tanpa peringatan. Mereka, yang bertahun-tahun memutar roda ekonomi perusahaan, tiba-tiba terlempar keluar dari sistem tanpa jaring pengaman.
Dedi, setelah puluhan tahun mengabdi sebagai buruh pabrik, kini bergantung pada aplikasi ojek online, bersaing dengan ribuan pekerja lain yang nasibnya serupa dalam ruang urban yang timpang.
Di saat yang sama, Rini, yang mengandalkan warung kecil di rumahnya, terhimpit oleh kehadiran minimarket dan supermarket besar yang memakan pelanggan warung tradisional. Semakin banyak orang pindah ke tempat yang dianggap lebih nyaman, meninggalkan usaha kecil seperti Rini yang semakin kehilangan pembeli.
Gelombang PHK massal yang melanda berbagai sektor industri menambah parah kondisi ketenagakerjaan di Indonesia. Sektor manufaktur, tekstil, dan teknologi menjadi yang paling terdampak. Pada pertengahan tahun 2023, lebih dari 500.000 pekerja kehilangan pekerjaan mereka akibat PHK besar-besaran, menurut data dari Kementerian Ketenagakerjaan. Penyebab utama PHK ini adalah melemahnya daya beli masyarakat, ketidakpastian pasar ekonomi global, meningkatnya biaya produksi akibat inflasi, serta otomatisasi yang mulai menggantikan tenaga kerja manusia.
Janji Palsu Kemakmuran
Pemerintah seringkali menjanjikan pertumbuhan ekonomi sebagai solusi dari berbagai masalah ketimpangan ini. Namun, dalam praktiknya, kebijakan yang diterapkan sering kali hanya menguntungkan kelas atas. Proyek infrastruktur besar-besaran dan investasi asing yang didorong oleh pemerintah malah semakin meminggirkan masyarakat kelas bawah. Ketika pembangunan mall-mall mewah dan apartemen elit terus digalakkan, pemukiman-pemukiman kumuh semakin tergerus. Mereka yang tak mampu bersaing dalam pasar properti kota besar akhirnya tergusur, dipaksa mencari tempat tinggal di pinggiran kota, jauh dari pusat ekonomi dan kesempatan kerja.
Ironisnya, kelas pekerja dan kelas menengah hanya menjadi pion yang dipindahkan sesuai kebutuhan modal. Ketika industri beralih ke otomatisasi atau outsourcing, ribuan pekerja di-PHK tanpa ada jaminan keberlanjutan hidup. Yang tersisa hanyalah jejak perut-perut kosong yang terpinggirkan dari sistem ekonomi yang mereka bantu bangun.
Dalam konteks ekonomi politik berbasis kelas, keadilan sosial adalah mimpi yang sulit dijangkau. Kebijakan ekonomi yang ada lebih mengutamakan mereka yang berada di puncak piramida sosial, sementara mereka yang ada di dasar terus terabaikan. Redistribusi kekayaan dan akses terhadap sumber daya masih sebatas wacana, belum menjadi realitas.
Untuk kelas menengah urban yang rentan, tidak ada jaring pengaman yang cukup kuat. Ketika ekonomi terpuruk, mereka langsung terjatuh ke dalam kemiskinan tanpa ada jalan keluar. Untuk kelas bawah, akses terhadap sumber daya semakin tertutup, dengan harga-harga kebutuhan pokok yang terus melambung tinggi. Pada akhirnya, janji keadilan sosial hanya terasa sebagai janji yang tak pernah ditepati.
Carut-marut yang Tak Berkesudahan
Pada akhirnya, kota adalah ruang yang terus menyisakan jurang yang semakin lebar antara yang memiliki dan yang tidak. Di tengah himpitan pengangguran, ketidakpastian ekonomi, dan biaya hidup yang terus meningkat, kota menjadi tempat di mana sebagian besar orang hanya bisa bertahan, bukan berkembang. Carut-marut ini adalah cerminan dari kegagalan sistem ekonomi yang tidak pernah benar-benar berpihak pada rakyat banyak. Perut-perut yang lapar, utang yang menggunung, dan harapan yang memudar, semua itu adalah bagian dari cerita besar tentang ketidakadilan yang terus mengakar di dalam kehidupan urban.
Perjuangan kelas di kotai tidak pernah selesai. Bagi kelas menengah yang terancam kemiskinan, dan kelas bawah yang terus bertahan dalam kondisi yang serba terbatas, masa depan tampak suram kecuali ada perubahan mendasar dalam cara kota ini diatur dan dikelola. Ke depan, perjuangan bukan lagi soal bagaimana bertahan di tengah ketidakpastian, tetapi bagaimana memastikan bahwa janji kemakmuran benar-benar menjadi milik semua orang, bukan hanya segelintir yang beruntung.