Logika Kapitalisme Kroni di Indonesia (1)
Kapitalisme kroni adalah fenomena yang seolah biasa terjadi di Indonesia. Berbagai kerugian yang kita terima dan keuntungan yang mereka dapatkan tentunya mencerminkan kontras sangat kuat. Antara si rakus yang haus kekayaan dengan menyedot uang negara layaknya lintah dan rakyat yang seolah hanya terdiam dan menerima realitas tersebut tersebut.
Perjalanan sejarah membuktikan bahwasannya kapitalisme kroni seolah tidak pernah lepas dari negara kita. Seolah kapitalisme kroni di Indonesia memiliki logika tersendiri. Entah kapan fenomena ini berakhir dan bagaimana solusi untuk mengakhirinya.
Tulisan ini bermaksud untuk mengkaji fenomena kapitalis kroni di Indonesia dari masa Orde Baru hingga Reformasi. Di sini saya memperlihatkan dan menonjolkan bagaimana pola-pola kapitalisme kroni di Indonesia. Juga membongkar praktik kapitalisme kroni dalam kurun waktu di atas. Pendekatan sejarah dan ekonomi politik akan sangat membantu di sini.
Esai ini rencananya dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama membahas kapitalisme kroni di masa Orde Baru yang tidak terlepas dari patronase para jenderal, elite politik, oligark, kapitalis, dan keluarga cendana yang kesemuanya bersarang dalam lembaga politik.
Bagian dua, membahas kapitalisme kroni yang semakin liar di era Reformasi. Praktik kapitalisme kroni tidak hanya terjadi di pusat namun hingga daerah. Di tambah lagi di akhir-akhir ini, si klien berkuasa secara langsung. Mereka menduduki lembaga politik strategis yang memiliki otoritas kuat. Di bagian dua pula akan dilakukan analisis politik perbandingan antara negara Asia Tenggara lain.
Di bagian tiga, saya akan mengemukakan pendapat yang sangat normatif dengan pendekatan teori-teori politik yang bersifat valuational.
Konsep kapitalisme kroni
Sistem kapitalisme di Indonesia memberikan kita gambaran bahwa apa yang dinamakan kapitalisme kroni sangat melekat dari dulu hingga saat ini. Konsep kapitalisme kroni merujuk pada hubungan antara politikus (elite politik) dan pengusaha (kapitalis bahkan oligark). Hubungan keduanya ditujukan untuk keuntungan bersama, semacam simbiosis mutualisme. Kapitalisme kroni di Indonesia merupakan hal yang menarik dibahas. Kapitalisme kroni menjadi ladang “sumber daya material”, meminjam istilah Jeffrey Winters, atau rente bagi para elite politik, kapitalis, dan oligark.
Di dalam kajian ekonomi politik, apa yang dinamakan kapitalisme kroni tidak dapat lepas dari konsep patronase atau biasa disebut patron-klien. Seorang bernama James Scott menawarkan teori patron-klien dalam Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia[1]. Scott menjelaskan bahwa patron-klien adalah hubungan timbal balik antara si patron dan si klien. Si patron memiliki kedudukan yang lebih kuat dari si klien. Patron memiliki sumber daya yang lebih kuat baik secara status sosial maupun jabatan birokratis. Sedangkan si klien yang lebih rendah dari si patron menggantungkan dirinya kepada si patron.
Dalam konteks kapitalisme kroni, konsep patron-klien akan banyak di pakai. Patron merujuk pada elite politik dan klien merujuk pada kapitalis/pengusaha. Teori di sini tidak ditempatkan determinan layaknya seperti para positivis. Dalam mengkaji tentunya yang primer adalah fakta, harus bersifat empiris. Jadi teori-teori impor tersebut hanyalah sebagai alat mempermudah, tidak lebih.
Dinasti Orde Baru
Orde Baru adalah rezim yang sukses berkuasa selama tiga puluh tahun lebih. Stabilitas kuasa rezim tersebut tidak bisa dilepaskan dengan berkembangnya perekonomian. Orde Baru bukanlah rezim yang berangkat layaknya bayi suci tanpa beban. Berdirinya Orde Baru tidak lepas dari ambruknya ekonomi; inflasi, pengangguran, kemiskinan, hingga buta huruf sebagai sisa peninggalan Demokrasi Terpimpin.[2] Awal berdirinya rezim ini juga merupakan era masuknya Indonesia ke dalam kapitalisme global.
Langkah Suharto setelah melakukan kudeta merangkak adalah merestrukturisasi dan mengonsolidasikan struktur ekonomi kapitalisme di Indonesia. Dalam praktiknya memang indeks pertumbuhan ekonomi meningkat. Produk Domestik Bruto mencapai angka 7,7% pada tahun 1971–1981.[3] Angka presentase PDB ini tidak pernah berada di bawah 5%.
Selain berhasil meningkatkan Produk Domestik Bruto, pemerintah Orde Baru juga berhasil dalam memberantas buta huruf. Sensus mencatat bahwa 63,6% perempuan dan 80,4% laki-laki sudah melek huruf.[4] Angka ini sangat fantastis mengingat permasalahan ekonomi di masa kepemimpinan Sukarno tidak lepas dari keterpurukan.[5]
Walau begitu, agenda pembangunan perekonomian tidak semata-mata dengan mata suci untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat, tapi ada semacam latensi untuk meraup keuntungan pribadi. Pola kapitalisme kroni mulai berkeliaran di era kepemimpinan Suharto.
Kapitalisme kroni di era ini biasanya bersarang dalam lembaga pemerintah dan kebijakan publik yang memberikan akses pada logika bisnis kapitalisme kroni. Agenda bagi-bagi rente dari hasil patronase adalah lazim. Sang patron biasanya merupakan elite politik dan militer[6] dan sang klien merupakan kapitalis Tionghhoa, pribumi, dan lebih menakutkan lagi adalah anggota keluarga Suharto itu sendiri.
Pada era pertengahan 1970–1980’an dapat dikatakan merupakan puncak kejayaan ekonomi rezim militer Orde Baru. Berbagai komoditas seperti minyak, gas, hasil industri kehutanan dan pertanian menjadi barang yang laku di pasar ekonomi global.[7]
Minyak bumi menjadi komoditas utama yang paling laku pada era 1980’an. Perang Teluk di Timur Tengah berhasil menciptakan supply minyak dari Iran dan Irak ke pasar global menjadi tidak stabil. Belum lagi Perang Arab Israel pada 1970’an menambah minimnya supply minyak ke pasaran global. Akibat kemelut perang tersebut, minyak menjadi langka dan mahal. Indonesia sebagai negara yang turut memproduksi minyak bumi menggantikan peran dominan Iran dan Irak di pasaran minyak bumi.
Tercacat, harga ekspor minyak Indonesia meningkat dari US$ 2,96 per barel menjadi US$ 12,60 per-barel.[8] Ahli ekonomi politik Richard Robinson mencatat pendapatan negara era 1970–1980’an. Minyak bumi berada di posisi vital sebagai pemasok pendapatan. Pada 1969 minyak bumi hanya memasok 19,7% uang khas negara. Hal ini kemudian melejit sepuluh tahun kemudian dengan mencapai angka 52,7%. Bahkan pada 1981 minyak bumi berhasil memasok 61,7% persen pendapatan.[9]
Di balik kejayaan minyak bumi Indonesia saat itu, terdapat pola busuk yang tercium. Mari kita lihat kasus Pertamina di era Ibnu Sutowo, seorang jenderal yang memimpin perusahaan negara. Pertamina menjadi kekuatan sentral ketika produksi minyak bumi Indonesia menguasai pasar ekonomi global. Kekuatan sentral di sini juga termasuk sarang sentral rente para elite politik bejat dan kapitalis serakah. Ibnu Sutowo diangkat Suharto sebagai pemimpin Pertamina. Tidak lama, lintah darat elite politik Ibnu Sutowo menempel dalam tiang Pertamina. Perusahaan Pertamina pada saat Sutowo menjabat tidak pernah melaporkan neraca keuangan.[10]
Surat kabar Indonesia Raya yang dipimpin oleh jurnalis idealis-progresif Muchtar Lubis menerbitkan laporan investigasi bahwa adanya dokumen yang menyatakan hubungan antara Ibnu Sutowo dan individu asing.[11] Mereka sebagai klien mendapatkan “lisensi” dari Pertamina yang dipegang oleh Ibnu Sutowo sebagai “patron”. Akan tetapi lisensi tersebut kemudian dijual ke perusahaan asing sebagai kliennya. Hal ini jelas tentunya melanggar ketentuan Pertamina sendiri. Hubungan kapitalisme kroni agaknya akan terjalin mulus bilamana Muchtar Lubis tidak bertindak.
Pertamina di bawah Jenderal Ibnu Sutowo juga pernah membeli kapal tanker dari dana negara. Dana untuk kapal tanker tersebut sebesar US$ 2.750 juta untuk 23 unit tanker. Kondisi pasar kapal tanker saat itu sedang ambruk, perlu dipertanyakan dana besar yang dikeluarkan Sutowo? Seorang pengganti Ibnu Sutowo di Pertamina mengangkat kasus ini. Dia menyatakan bahwa dana US$ 56 juta saja cukup untuk membeli satu kapal tanker baru berukuran besar. Sedangkan apa yang dibeli Ibnu Sutowo sejumlah 23 unit adalah kapal bekas dengan jumlah harga yang fantastis.[12] Tentu saja “tangan panjang” terlihat di sini. Disinyalir pembelian kapal tanker Pertamina di bawah Ibnu Sutowo ini dibeli pada perusahaan temannya di Singapura. Sutowo sebagai patron tentunya ingin berbagi rente dengan temannya sebagai klien yang memiliki perusahaan kapal di Singapura.[13] Hubungan kapitalisme kroni sangat jelas di sini.
Selain dalam kasus minyak di Pertamina yang melibatkan para jenderal, kita juga dapat melirik kapitalisme kroni dalam ranah “patronase kapitalis Tionghoa dan elite politik”. Dalam kasus Bulog dan PT Bogasari terjadi pemberian lisensi sebagai akses monopoli dari Bulog (perusahaan negara) kepada PT Bogasari. PT Bogasari diberi lisensi izin oleh Bulog untuk beroperasi di wilayah Indonesia yang memiliki potensi pasar menguntungkan. Sedangkan perusahaan lain yang bergerak di bidang yang sama, yaitu tepung terigu, hanya diberikan izin operasi di wilayah dengan pangsa pasar ekonomi rendah, Indonesia timur. Tentunya hal ini sangat menguntungkan PT Bogasari, perusahaan tersebut tidak memiliki pesaing di tempat operasi wilayahnya. Bahkan PT Bogasari juga dipasok “gandum kualitas tinggi” oleh Bulog.[14]
Logika kapitalisme kroni tidak bisa dilepaskan di sini, hubungan patronase terjalin erat. Pemilik PT Bogasari adalah seorang oligark beretnis Tionghoa bernama Liem Sio Liong. Liem sebagai “klien” dari proyek rente ini memiliki kedekatan personal dengan Suharto sebagai “patron”. Keluarga Suharto dan Liem adalah sekutu bisnis yang sudah berjalan sejak lama. Akses lisensi yang diberikan kepada perusahaan Liem tentunya menghasilkan rente bagi mereka berdua. Si patron dan si klien duduk manis dalam puingan-puingan material.
Kapitalisme kroni juga terjadi dalam lembaga pemerintah yang baru saja dibentuk saat itu, yaitu Tim Sepuluh. Tim Sepuluh merupakan lembaga yang dibentuk pada Januari 1980. Lembaga ini dibentuk pemerintah untuk menyelesaikan ketidakefisenan, pemborosan, serta tumpang tindih departemen. Walau begitu logika kapitalisme kroni serakah bersarang di sini, para lintah darat segera menempel dan menggerus uang negara dengan lobinya. Tim Sepuluh memberikan kontrak untuk proyek pemerintah kepada para kapitalis dan oligrak pribumi. Dana sebesar US$ 60 miliar tersebut diberikan Tim Sepuluh kepada para klien yang bersekongkol dan memiliki hubungan dekat dengan si patron atas nama proyek pembangunan.[15] Tentu saja si klien ini memiliki akses monopoli atas kontrak dan proyek pemerintah tersebut. Sungguh ironis, miliyaran dolar didapatkan dengan begitu mudah dengan cara pendekatan persona antara si kapitalis dan elite politik.
Kapitalisme kroni tentunya tidak hanya terjadi di luar tangan penguasa tunggal Jawa. Suharto tentunya tidak ketinggalan dalam membangun kerajaan bisnisnya sendiri. Keluarga cendana lebih mudah menjalankan agenda kapitalisme kroni, toh bagaimana tidak? Patronnya pun sang sultan, Suharto. Seperti yang dikemukakan Jeffrey Winters, satu anak Suharto sekalipun memiliki puluhan perusahaan yang mana mudah sekali bagi mereka untuk meraup keuntungan material.[16] Agaknya mereka tidak perlu melobi dan berpikir hati-hati dalam menjalankan logika politik bisnis.
Pola patronase antara Suharto dan anaknya dalam praktik kapitalisme kroni lebih radikal. Dalam kasus proyek jalan tol yang dikelola Jasa Marga (BUMN) misalnya, Suharto mengeluarkan keputusan untuk proyek pembangunan jalan tol dengan memberikan tender kepada putrinya, Tutut Suharto.[17] Yang mana hal tersebut memberikan 75% keuntungan pada Tutut Suharto, yang katanya akan menjadi calon Mensos Jokowi sekarang ini.
Kapitalisme kroni semcam ini hampir menjalar ke lapisan berbagai keluarga Suharto. Bahkan hal ini terjadi dengan lebih keras lagi. Dalam kasus Perusahaan Listrik Negara, Bambang Trihatmoko menekan PLN agar membeli listrik dengan harga mahal kepada grup bisnisnya. [18] Anak Suharto lain, Sigit Harjoyudanto, pernah melobi Pertamina agar untuk mendapatkan komisi pemesanan satu kapal tanker ke perusahaan Korea.[19] Banyak sekali kasus kapitalisme kroni yang menyangkut keluarga Suharto. Di sini agaknya tidak mungkin menyebutnya satu persatu. Jelasnya, kapitalisme kroni dalam keluarga cendana ini mulus dan menguntungkan mereka sebagai klien prioritas, dari pada klien lain.[20] Keluarga cendana dilaporkan memiliki kekayaan lebih dari US$ 72 miliar selama Orde Baru berkuasa.[21]
Banyak sekali literatur empirik yang mengkaji ekonomi politik Orde Baru yang penuh dengan praktik korupsi, kapitalisme kroni, patronase, oligarki politik, atau sejenis politik bisnis lainnya. Richard Robinson dalam Rise of Capital yang kini karya tersebut diterjemahkan menjadi Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, menjadi buku yang rujukan untuk melihat dinamika ekonomi-politik Indonesia masa Orde Baru. Tidak ketinggalan karya teoritik-empirik seorang Jeffrey Winters berjudul Oligarki semakin memperkaya kajian ekonomi-politik Orde Baru.
Kapitalisme kroni masa Orde Baru bersarang di lembaga pemerintahan melalu berbagai kebijkan publik, lisensi, atau alat lain yang memberikan akses monopoli kepada si klien yang terdiri dari kapitalis dan oligark. Kapitalisme kroni di era ini juga biasanya bersarang dalam proyek pembangunan dan industri yang memuncak di pasaran global. Komoditas yang paling laku seperti minyak justru menjadi sarang praktik kronisme semacam ini. Proyek-proyek pembangunan yang gencar di masa Orde Baru , gencar juga diikuti patronase ekonomi-bisnis semacam ini. Hal apapun dijadikan peluang dan ladang rente bagi si patron dan si klien. Para jenderal-elite politik, kapitalis, oligark, hingga keluarga cendana menjadi pemain utama kapitalisme kroni di masa Orde Baru.
Catatan kaki
[1] Scott, James. Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia.
[2] M.C, Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Hlm, 602. Misal utang kepada negara blok komunis sebesar US$ 2,36 miliar, setengah diantaranya kepada Uni Soviet.
[3] Ibid.Hlm, 626.
[4] Ibid. Hlm, 633.
[5] Lihat Robinson, Richard. Suharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia. Hlm, 29–55.
[6] Catt, sulit untuk memisahkan elite politik dan elite militer (jenderal) di masa Orde Baru. Elite
[7] Robinsin, Richard. Suharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia. Hlm,
[8] Ibid. Hlm, 620.
[9] Ibid. Hlm, 133.
[10] Indonesia Raya tanggal 22 Oktober 1969. Dikutip dari Richard Robinson dalam Suharto dan Kebangkitan Kapitalisme Indonesia. Hlm 185. Lihat juga Winters, Jeffrey. Oligarki. Hlm 239.
[11] Ibid
[12] Ibid. Hlm, 185.
[13] Ibid. Hlm, 280.
[14] Lihat Richard Robinson. Hlm 181–182.
[15] Lihat Winters, Jeffrey. Oligarki. Hlm, 243.
[16] Ibid. Hlm, 247–250.
[17] Ibid. Hlm,
[18] Ibid. Hlm, 249.
[19] Robinson, Richard. Hlm, 277.
[20] Catt. Majalah Forbes melaporkan Suharto sebagai orang terkaya keempat di dunia dengan harta US$ 16 miliar. Keluarga Suharto bahkan memiliki 3,6 juta hektar tanah (seluas Belgia) di Indonesia. Kekayaan keluarganya mencapai lebih US$ 73 miliar selama 32 tahun berkuasa. Lihat, Jeffrey Winters. Hlm 249.
[21] Ibid.
Catatan: Sumber atau Daftar Pustaka akan dicantumkan di esai bagian ketiga