Kiranya Jadi Sejarawan, Dosen atau Peneliti
Dulu, saya sering berandai-andai tentang masa depan. Saat mengikuti kuliah sejarah, saya merasa dunia akademik adalah rumah yang nyaman. Menjadi sejarawan atau dosen tampak seperti pilihan karir yang juga penuh makna. Saya membayangkan hari-hari yang diisi dengan penelitian mendalam, membedah arsip kuno berupa dokumen, koran hingga memoar, berjam-jam di perpustakaan dengan debu dan rayap, atau berbicara di depan mahasiswa yang haus ilmu.
Dunia akademik memberikan gambaran ideal tentang profesi yang tidak hanya mencerahkan pikiran orang lain tetapi juga memupuk pemahaman mendalam tentang perjalanan manusia. Namun, kehidupan sering kali menyajikan realitas yang jauh dari apa yang saya bayangkan.
Ketertarikan saya terhadap dunia sejarah dan akademik tidak muncul begitu saja. Selama kuliah di Unpad, saya akrab dengan diskusi panjang tentang sejarah dan teori-teori besar yang menjelaskan dunia. Tokoh-tokoh seperti Leopold von Ranke, dengan gagasannya bahwa sejarah harus berlandaskan fakta objektif, membuka mata saya terhadap pentingnya detail dalam memahami masa lalu. Di sisi lain, E.H. Carr menawarkan pandangan kritis bahwa sejarah tidak pernah sepenuhnya objektif karena bergantung pada pilihan sejarawan dalam memilah fakta.
Saya juga terinspirasi oleh Annales School, terutama Marc Bloch dan Lucien Febvre, yang menunjukkan bahwa sejarah tidak hanya tentang peristiwa besar tetapi juga struktur sosial, budaya, dan kehidupan sehari-hari manusia. Dari sini, saya melihat sejarah bukan hanya sebagai cerita, melainkan alat untuk memahami dunia secara lebih kompleks.
Namun, saat keinginan itu tumbuh menjadi niat serius untuk menjadi sejarawan atau dosen, saya mulai menyadari besarnya tantangan yang harus dihadapi. Untuk menjadi dosen, gelar S2 adalah syarat minimal, dan di banyak universitas ternama, gelar S3 adalah keharusan. Perjalanan akademik ini memerlukan waktu yang panjang dan biaya yang tidak sedikit.
Sebagai gambaran, program magister bisa memakan waktu dua hingga tiga tahun, sementara program doktoral bisa mencapai empat hingga enam tahun atau lebih, tergantung pada bidang penelitian. Dalam konteks Indonesia, biaya studi di dalam negeri untuk S2 dan S3 bisa mencapai ratusan juta rupiah.
Jika melanjutkan studi ke luar negeri, tantangannya lebih besar lagi. Universitas seperti Leiden University di Belanda atau Cornell University di Amerika Serikat menawarkan program studi sejarah yang sangat prestisius, terutama bagi mereka yang ingin mendalami historiografi Indonesia dan Asia Tenggara.
Di Leiden, misalnya, tradisi akademik dalam studi kolonial dan sejarah Nusantara sudah mapan sejak abad ke-19, dan banyak arsip penting tentang Indonesia berada di Belanda. Sementara itu, Cornell dikenal sebagai salah satu pusat studi Asia Tenggara terkemuka, dengan tokoh-tokoh besar seperti Benedict Anderson yang karyanya tentang nasionalisme menjadi rujukan global.
Namun, biaya kuliah di universitas seperti Leiden atau Cornell bisa sangat mahal. Biaya pendidikan saja bisa mencapai puluhan ribu dolar per tahun, belum termasuk biaya hidup yang tinggi. Meski ada peluang beasiswa seperti LPDP atau Fulbright, persaingannya sangat ketat. Selain itu, proses seleksi sering kali mengharuskan pelamar memiliki portofolio akademik yang kuat, seperti publikasi atau pengalaman riset, yang tidak semua mahasiswa di Indonesia punya kesempatan untuk membangunnya.
Bahkan jika berhasil mendapatkan beasiswa, tantangan lain yang harus dihadapi adalah penyesuaian dengan budaya akademik yang berbeda. Di universitas internasional, mahasiswa dituntut untuk mandiri secara intelektual, mampu berdiskusi kritis, dan sering kali harus menghasilkan karya ilmiah dalam bahasa Inggris. Sementara itu, studi di luar negeri juga memerlukan kesiapan mental untuk hidup jauh dari keluarga, beradaptasi dengan lingkungan baru, dan menghadapi tekanan akademik yang tidak ringan.
Peluang karier setelah lulus pun tidak selalu menjanjikan. Gelar dari universitas ternama memang bisa menjadi nilai tambah, tetapi persaingan untuk menjadi dosen tetap di Indonesia tetaplah ketat. Banyak lulusan S2 atau S3 dari luar negeri yang akhirnya harus memulai karier di luar akademik karena keterbatasan posisi dan gaji yang sering kali tidak sebanding dengan pengorbanan waktu serta biaya.
Sebagai anak rantau yang berjuang dalam kehidupan urban masyarakat kapitalis, keputusan untuk melanjutkan studi hingga jenjang S2 atau S3, apalagi di luar negeri, tidak bisa saya ambil begitu saja. Saya harus mempertimbangkan bagaimana biaya besar dan waktu studi panjang akan mempengaruhi kemampuan saya untuk mendukung keluarga. Bagi saya, mengambil risiko finansial sebesar itu terasa sulit, apalagi jika tidak ada jaminan stabilitas setelah lulus.
Akhirnya, saya memutuskan untuk mengambil jalan yang berbeda. Saya memilih terjun ke dunia yang lebih pragmatis, tidak menyangka saya saat ini berkutat dalam wacana kapitalis tentang digitalisasi pemasaran, bidang digital marketing. Dunia ini tidak memberikan peluang untuk mempraktikkan teori-teori sosial dan sejarah yang pernah saya pelajari di bangku kuliah. Akan tetapi saya belajar membongkar celah bagaimana ekonomi dan sosial bekerja secara nyata, bukan hanya dalam kerangka teori akademis. Saya berada dalam lingkaran pasar, memilih jalan pragmatis untuk semata-mata mendapatkan penghasilan yang lebih mapan.
Walau begitu, saya tidak pernah benar-benar meninggalkan dunia akademik. Sesekali, kembali membaca buku-buku sejarah yang dulu saya kagumi, menulis esai, atau berdiskusi dengan teman-teman yang tetap bertahan di jalur akademik. Dunia akademik tetap menjadi bagian dari diri saya, meskipun dalam bentuk yang lebih personal. Saya percaya, meskipun saya tidak menjadi sejarawan profesional, pemahaman sejarah tetap relevan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam menganalisis pola-pola sosial dan ekonomi kapitalis yang menyejarah di pragmatis kapitalisme.
Pada akhirnya, kehidupan adalah tentang menyeimbangkan idealisme dan pragmatisme. Pilihan yang dulu tampak pasti bisa berubah menjadi jalan memutar yang panjang, tetapi nilai-nilai yang saya pegang tidak hilang begitu saja. Saya percaya bahwa belajar dan berbagi pengetahuan adalah tujuan yang bisa diwujudkan dalam banyak bentuk. Entah itu sebagai dosen, peneliti, atau profesional di bidang lain, saya tetap ingin berkontribusi pada pemahaman dan pengembangan masyarakat. Jalan hidup memang berubah, tetapi esensi dari tujuan itu tetap sama: membangun masa depan yang lebih baik dengan bekal pemahaman masa lalu.