Kelas Menengah, Makan Tabungan Sendiri (Mantab)
Kelas menengah di Indonesia kini menghadapi badai ekonomi yang kian menekan. Penurunan jumlah mereka—dari 57,33 juta jiwa (21,5% populasi) pada 2019 menjadi 47,85 juta (17,13%) pada 2024—mencerminkan tekanan hidup yang kami alami sehari-hari. Realitas ini tidak hanya tercermin dalam data statistik, tetapi terasa nyata dalam kehidupan urban di kota-kota besar seperti Bandung dan Jakarta. Di tengah biaya hidup yang terus melonjak, satu pekerjaan tetap tak lagi memadai. Saya, harus beradaptasi dengan mencari pekerjaan sampingan dan mengambil proyek freelance demi menjaga keseimbangan finansial.
Saya tidak pernah menyangka harus menjalankan dua hingga tiga pekerjaan sekaligus. Pagi hingga sore bekerja di kantor, malamnya beralih mengerjakan proyek freelance atau mengembangkan bisnis kecil-kecilan. Di antara hiruk-pikuk kota, saya juga harus menghitung setiap rupiah yang keluar—mulai dari sewa tempat tinggal hingga berbagai kebutuhan lainnya. Hidup di kota besar yang dulu terasa penuh peluang kini berubah menjadi serangkaian kompromi dan ketidakpastian.
Pertumbuhan upah riil yang stagnan dibandingkan laju inflasi membuat banyak dari kelas menengah termasuk kalangan Generasi Z bergantung pada pekerjaan tambahan untuk menutup kebutuhan dasar. Tidak sedikit yang terjerumus dalam "gig economy" tanpa jaminan dan kepastian. Bekerja freelance atau joki tugas mungkin terlihat fleksibel, tetapi kenyataannya ini adalah bentuk kerja tanpa batas waktu dan tanpa jaminan sosial. Rasanya seperti berlari tanpa tujuan, hanya untuk tetap berada di tempat yang sama.
Kegagalan pemerintah dalam menghadirkan kebijakan tenaga kerja yang adaptif memperparah kondisi ini. Sementara indikator makroekonomi seperti pertumbuhan PDB dan inflasi terjaga, kelas menengah harus berjuang sendiri menghadapi kenaikan biaya hidup dan ketidakpastian pasar kerja. Konsumsi rumah tangga, yang menyumbang hampir 50% PDB, mengalami kontraksi signifikan, memperlihatkan bahwa daya beli masyarakat terus melemah.
Bagi saya, sebagai bagian dari generasi sandwich, situasinya semakin rumit. Selain menopang kebutuhan orang tua yang semakin renta, saya juga harus memikirkan masa depan keluarga kecil sendiri. Di tengah himpitan ini, tabungan pribadi yang seharusnya menjadi bekal untuk masa depan malah lama-lama bisa saja habis terkuras hanya untuk bertahan hidup hari ini. Setiap kali menarik uang dari tabungan, ada perasaan campur aduk: sedikit lega karena bisa bertahan, tapi juga takut akan masa depan yang makin samar.
Fenomena "Mantab"—Makan Tabungan Sendiri—bukan sekadar cermin salah kelola finansial pribadi, tetapi bukti konkret bahwa sistem ekonomi gagal memberikan keamanan bagi warganya. Bekerja lebih keras, mengambil lebih banyak pekerjaan, atau mengorbankan waktu dan kesehatan tidak menjamin kestabilan. Kami terjebak dalam sistem yang eksploitatif, di mana harapan untuk hidup lebih baik semakin sulit digapai.
Di balik gemerlap kota dan kesibukan urban, kami terus berjuang, bukan untuk sekadar bertahan hari ini, tetapi untuk masa depan yang belum tentu. Setiap langkah adalah pertarungan dengan ketidakpastian, dan setiap rupiah yang disisihkan menjadi bentuk perlawanan kecil terhadap ketidakadilan sistemik. Kami tidak meminta kemewahan—hanya kesempatan untuk hidup dengan martabat dan sedikit ruang bernapas di tengah kota yang tidak pernah tidur.
Inilah realitas kelas menengah Indonesia hari ini: bekerja keras siang dan malam, hanya untuk sekadar bertahan, sambil terus berharap bahwa esok hari akan lebih baik—meskipun dalam hati kecil, kami tahu, harapan itu semakin jauh dari jangkauan.
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik. (2020). Jumlah Penduduk Menurut Kelas Ekonomi di Indonesia 2019-2020.
Muhadjir Effendy. (2024). Pernyataan terkait Penurunan Kelas Menengah dan Strategi Kebijakan. Tempo.co. Diakses dari Tempo.
Rachman, F. (2024). Daya Beli Menurun dan Konsumsi Masyarakat Anjlok: Ancaman Deflasi di Indonesia. Tempo.co. Diakses dari Tempo.