Kejamnya Sebuah Ilusi

Raka Putra Pratama
2 min readJun 19, 2021

--

Nirsadar, betapa kejamnya sebuah ilusi dalam menenggelamkan homo sapien yang berenang-renang dengan percik senyuman dan kepolosoan diri ke dasar Palung Laut Mariana.

Atau hebusan angin yang menghatam menuju padang pasir Gurun Sahara. Pandangan manusia lapar dan kehausan akan nirwana yang sedang terjebak dalam gurun Sahara panas, panjang dan tiada akhir.

Oh wahai Dewa Poseidon cum Dewa Zeus bawa si sapien itu kembali ke peradaban Yunani klasik dengan segala kebudayaan. Hei Dewa Poseidon coba kerahkan kuatmu untuk memberikan siaraman air laut samudera Pasifik kepada homo sapien yang kini terjebak dalam gurun Sahara dan memadang suatu waktu yang hampa.

Atau jangan-jangan Toynbee barangkali lupa bahwa minoritas kreatif dalam kebudayaan kini berada dalam tempurung yang begitu keras hingga tak mampu untuk mengikis sedikit pun dengan pisaunya yang menumpul.

Sapien hanya memandang dari kejauhan betapa sinarnya suatu dunia di luar tempurung. Dunia tempurung gurun Sahara atau pun palung laut begitu kejamannya kau dalam menjebak.

Sapien tak mampu berteriak dengan dirinya yang kehausan akibat cabikan sebuah ilusi yang begitu kejam.

Sapien hanya mampu berbicara dan tatap menatap dalam apa yang dikatakan Baudrillard sebagai simulacrum membawanya kepada suatu ilusi lain yang lebih jauh dan berada pada tatanan melangkahi realitas yang hampa dalam tempurung.

Oh tidak, jangan-jangan kemarin sore ketika berjalan-jalan dari Mesopotamia, India, Mesir, Yunani, Anglo-Saxon hingga Rus kehilangan peta hingga si penyihir mengarahkannya pada suatu ilusi yang kejam dan menjebaknya dalam tempurung!

--

--

Raka Putra Pratama

writer and socio worker | dive into digital marketing and popular culture in postmodern era