Kabur Aja Dulu
Amsterdam. Kota para pemikir bebas, pedagang ulung, dan turis yang mabuk di pinggir kanal. Kota yang tak pernah kubayangkan akan kutinggali, sampai suatu hari aku sadar: Indonesia tak lagi bisa dihuni oleh orang waras.
Dulu aku berpikir negara ini masih bisa diselamatkan. Aku ikut aksi, turun ke jalan, menulis opini, bahkan pernah hampir ditangkap karena terlalu vokal. Tapi nyatanya, suara rakyat hanya dijadikan latar belakang bising bagi mereka yang duduk di kursi kekuasaan.
Satu per satu, segalanya runtuh. Harga kebutuhan pokok naik lebih cepat dari gaji. Pajak meroket, tapi pejabat makin gemuk. Orang miskin diminta berhemat, sementara anak menteri pamer mobil sport. Sistem demokrasi? Ah, itu cuma dekorasi. Pemilu hanya formalitas sebelum oligarki menentukan siapa boneka yang akan duduk lima tahun ke depan.
Lalu di tengah semua kekacauan itu, aku mengambil keputusan yang seharusnya sudah kuambil sejak lama: Kabur aja dulu.
Dan di sinilah aku, di sebuah apartemen sempit di Amsterdam, dengan visa pencari kerja yang nyaris habis. Kota ini dingin, mahal, dan tidak peduli apakah aku hidup atau mati. Tapi setidaknya, di sini tidak ada berita tentang dana bansos dikorupsi atau jalanan rusak yang dianggap bagian dari estetika.
Aku bekerja di sebuah startup fintech. Pekerjaan serabutan yang jauh dari ideal, tapi cukup untuk membayar sewa dan makan tanpa perlu khawatir harga telur naik seminggu sekali.
Suatu malam, di sebuah bar, aku bertemu seorang pria yang wajahnya kukenal. Seorang ekonom yang dulu sering muncul di TV, mengkritik pemerintah dengan data dan logika. Sekarang dia di sini, di negeri orang, menatap kosong ke dalam gelasnya.
“Saya menyerah,” katanya, tanpa aku bertanya.
“Negara itu tidak bisa diselamatkan. Mau bagaimanapun, yang kaya tetap makin kaya, yang miskin makin ditekan. Kita ini cuma figuran dalam sandiwara besar mereka.”
Aku tertawa kecil. “Saya juga menyerah.”
Kami bersulang. Dua orang pelarian, mabuk di kota yang tidak mengenal kami.
Di luar, lampu-lampu kanal berkilauan di permukaan air. Di kejauhan, ada dering lonceng gereja tua.
Aku berpikir, mungkin suatu hari nanti, Indonesia akan berubah. Mungkin akan ada revolusi, atau mungkin, semuanya akan tetap sama sampai negeri itu tenggelam dalam utangnya sendiri.
Tapi sekarang?
#KaburAjaDulu