Jerat Kemacetan, Hiasan Baru Kota Bandung

Raka Putra Pratama
5 min readSep 27, 2024

--

Kota Bandung yang dulu tersohor dengan pesonanya, kini terperangkap dalam sebuah paradoks: di tengah geliat ekonomi dan urbanisasi, terselip kemacetan yang tak kunjung usai. Dari hari ke hari, saya menyaksikan jalan-jalan yang penuh sesak, padat dengan kendaraan yang seolah-olah tak pernah berhenti mengalir.

Sebagai warga yang setiap hari terjebak di tengah hiruk-pikuk urban di kota ini, saya merasa bahwa kemacetan di Bandung bukan lagi sekadar masalah lalu lintas, melainkan sebuah simbol dari kebijakan pemerintah yang setengah hati, pertumbuhan yang tidak adil, dan ketidakmampuan kita untuk hidup selaras dengan ruang yang kita huni. Lebih dari itu, adalah buah dari ketidaksiapan pemerintah kota dalam menghadapi realitas ekonomi modern.

Dari sudut pandang ekonomi demografi, kemacetan di Bandung adalah cerminan dari laju urbanisasi yang tidak terkendali. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), populasi Kota Bandung mencapai lebih dari 2,5 juta jiwa pada tahun 2023, dan angka ini terus meningkat setiap tahunnya.

Tidak hanya itu, wilayah Bandung Raya, yang mencakup kawasan pinggiran seperti Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat, memiliki lebih dari 8 juta penduduk. Angka-angka ini menunjukkan pertumbuhan penduduk yang signifikan—suatu fenomena yang dikenal dalam teori ekonomi demografi sebagai urbanisasi demografis.

Dalam teori ini, urbanisasi yang cepat biasanya diikuti oleh perpindahan besar-besaran penduduk dari wilayah rural ke perkotaan dengan harapan menemukan pekerjaan dan akses ekonomi yang lebih baik. Namun, masalah muncul ketika laju pertumbuhan penduduk tidak diimbangi dengan penyediaan infrastruktur dan layanan publik yang memadai.

Itulah yang terjadi di Bandung. Kota ini menjadi pusat aktivitas ekonomi dan perdagangan di Jawa Barat, menarik para pencari kerja dari berbagai daerah. Namun, pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini tidak dibarengi dengan perencanaan yang matang untuk mengakomodasi lonjakan populasi.

Saya merasakan dampak langsung dari fenomena ini setiap kali harus berangkat kerja. Infrastruktur jalan di Bandung—sebagaimana yang sering kita alami—tidak dirancang untuk menampung jumlah kendaraan yang terus bertambah. Jalan-jalan utama seperti Jalan Pasteur, Dago, dan Buah Batu telah mencapai titik jenuh.

Rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan di Bandung hanya mencapai 2,5 km per 1.000 kendaraan, jauh di bawah standar yang seharusnya. Kendaraan pribadi terus bertambah, sementara upaya untuk meningkatkan transportasi publik tak kunjung terlaksana secara efektif. Padahal, menurut teori ekonomi demografi, pertumbuhan populasi semestinya diiringi dengan peningkatan kualitas transportasi publik yang memadai agar distribusi mobilitas dapat lebih merata.

Di sinilah letak kritik saya terhadap pemerintah. Selama bertahun-tahun, wacana-wacana besar tentang solusi kemacetan terus bergulir di meja birokrat, tapi realisasi di lapangan seringkali lambat, jika tidak mandek sama sekali. Pemerintah Kota Bandung berulang kali menjanjikan berbagai proyek ambisius seperti Bus Rapid Transit (BRT) dan sistem Light Rail Transit (LRT), yang digadang-gadang akan menjadi solusi transportasi massal modern. Namun hingga kini, saya dan jutaan warga lainnya hanya mendengar janji kosong tanpa ada perubahan nyata di jalanan.

Kegagalan pemerintah dalam menyediakan solusi transportasi publik mencerminkan kelemahan dalam perencanaan kota. Ketergantungan masyarakat terhadap kendaraan pribadi—yang terus meningkat hingga lebih dari 1,7 juta kendaraan pada tahun 2022—adalah dampak langsung dari minimnya pilihan transportasi yang layak.

Bagi saya, menggunakan angkot atau bus sering kali bukanlah pilihan yang realistis. Selain jadwal yang tidak menentu, kondisi kendaraan yang sudah tidak layak juga membuat transportasi umum di Bandung semakin ditinggalkan. Ini memperkuat fenomena urban sprawl, di mana penduduk pinggiran yang bergantung pada kendaraan pribadi semakin menambah beban lalu lintas.

Kita juga harus menyoroti adanya ketimpangan dalam kebijakan tata ruang. Kebijakan publik lebih menguntungkan pengembangan pusat-pusat komersial di pusat kota dalam lanskap kapitalistik, ketimbang memperhatikan kebutuhan mobilitas warga di pinggiran.

Pemerintah kota terus mendukung pembangunan infrastruktur pusat-pusat komersial alih-alih serius dalam memperbaiki kelayakan transportasi publik. Para pengembang properti terus membangun mal dan pusat bisnis di kawasan strategis, sementara akses transportasi untuk kelas pekerja yang tinggal di wilayah perbatasan kota justru terbengkalai.

Distribusi pembangunan ekonomi ini tidak seimbang, dan lagi-lagi, ini menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menata ruang kota sesuai kebutuhan populasi yang terus tumbuh. Ironisnya perluasan pusat-pusat komersial ini didukung oleh instrumen penggusuran paksa berbasis legitimasi pemerintahan, seperti kasus yang terjadi di Tamansari.

Sebagai warga yang merasakan langsung dampak kemacetan ini, saya tidak bisa hanya diam dan menerima keadaan. Saya menyaksikan bagaimana hidup sehari-hari kita—yang seharusnya penuh produktivitas—tergerus hanya untuk berjuang di jalanan.

Menurut laporan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), kemacetan di Bandung menyebabkan kerugian ekonomi sebesar Rp3,5 triliun per tahun. Jumlah ini tidak main-main, terutama jika kita melihatnya dari perspektif pengorbanan waktu dan produktivitas kerja yang hilang. Setiap jam yang kita habiskan terjebak di kemacetan adalah waktu yang hilang dari kesempatan untuk bekerja, beristirahat, atau berkumpul dengan keluarga.

Dari perspektif ekonomi politik, kemacetan di Bandung merupakan tanda bahwa pemerintah lebih memprioritaskan keuntungan jangka pendek dari pengembangan komersial dibandingkan dengan kesejahteraan jangka panjang warganya. Alih-alih berfokus pada pembangunan infrastruktur transportasi publik yang bisa menyeimbangkan laju urbanisasi, pemerintah justru memberikan ruang lebih bagi pengembang untuk terus membangun pusat-pusat perbelanjaan dan apartemen di tengah kota. Ini menciptakan pola konsumsi ruang yang tidak adil, di mana ruang publik yang semestinya menjadi hak semua orang, justru dikuasai oleh kepentingan kapitalis.

Kita tidak bisa menutup mata terhadap fakta bahwa masalah kemacetan ini adalah hasil dari kebijakan yang kurang matang dan visi yang terlalu sempit. Pemerintah seharusnya mengambil langkah berani untuk menghentikan pertumbuhan kendaraan pribadi dengan memperketat regulasi, memberlakukan pembatasan kendaraan berbasis nomor pelat, atau bahkan menerapkan sistem Electronic Road Pricing (ERP) seperti yang telah dilakukan di beberapa kota besar lainnya. Selain itu, investasi besar-besaran dalam transportasi publik harus menjadi prioritas, bukan sekadar wacana politik yang berlalu begitu saja.

Hingga hari itu tiba—hari di mana Bandung benar-benar bisa mengatasi kemacetannya dengan solusi nyata—saya, dan jutaan warga lainnya, hanya bisa berharap sambil terus terjebak di dalam deretan kendaraan yang tak kunjung berhenti. Pemerintah kota harus segera mengambil tindakan nyata, karena setiap detik yang kita habiskan di jalan adalah detik yang tak akan pernah kembali.

Data Rujukan

Badan Pusat Statistik (BPS). (2023). "Data Kependudukan Kota Bandung dan Wilayah Bandung Raya."

Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ). (2022). "Kajian Penggunaan Transportasi Publik di Bandung."

Dinas Perhubungan Kota Bandung. (2022). "Laporan Tahunan Volume Kendaraan di Kota Bandung."

Institut Teknologi Bandung (ITB). (2023). "Dampak Ekonomi Kemacetan di Kota Bandung."

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). (2022). "Analisis Infrastruktur Jalan di Bandung dan Kebutuhan Perbaikan."

--

--

Raka Putra Pratama

writer and socio worker | dive into digital marketing and popular culture in postmodern era