Instagram, Hiperealitas dan Fetisisme

Raka Putra Pratama
4 min readOct 27, 2024

--

Di era media sosial, Instagram telah menjadi ruang visual utama bagi masyarakat modern untuk membangun dan menampilkan identitas diri. Lebih dari sekadar platform berbagi foto, Instagram memperlihatkan bagaimana representasi visual dan performa identitas menjadi bagian dari konsumsi budaya. Dengan teori hiperealitas Jean Baudrillard dan konsep fetisisme Karl Marx, esai ini menganalisis bagaimana Instagram menciptakan realitas semu dan membentuk hubungan antara citra, objek, dan gaya hidup di Indonesia.

Hiperealitas: Instagram dan Produksi Citra Semu

Jean Baudrillard memperkenalkan konsep hiperealitas, yaitu kondisi di mana representasi tidak lagi mengacu pada realitas, melainkan menciptakan dunia baru yang lebih nyata daripada realitas itu sendiri. Dalam konteks Instagram, hiperealitas terlihat dari bagaimana pengguna menyusun kehidupan yang dikurasi melalui foto, story, dan video. Unggahan di Instagram bukanlah refleksi otentik dari kehidupan, melainkan hasil konstruksi visual yang dimanipulasi melalui filter, sudut pandang tertentu, dan narasi yang dipilih secara hati-hati.

Misalnya, estetika traveling yang populer di Instagram sering menggambarkan liburan eksotis dengan latar pantai atau gunung yang sempurna. Namun, citra tersebut bukanlah realitas, melainkan versi yang telah diseleksi dan diromantisasi demi menciptakan impresi tertentu. Momen-momen sehari-hari yang biasa pun diubah menjadi pengalaman estetik melalui penyuntingan dan penggunaan simbol tertentu, seperti kopi di kafe minimalis atau pakaian merek terkenal. Realitas yang dihadirkan bukan lagi kehidupan sehari-hari, tetapi sesuatu yang lebih ideal, lebih menarik, dan lebih bisa dikonsumsi.

Pada akhirnya, hiperealitas Instagram mengaburkan batas antara yang nyata dan yang artifisial. Pengguna tidak hanya berinteraksi dengan kehidupan orang lain, tetapi dengan representasi yang telah melalui proses estetisasi dan komodifikasi. Identitas digital yang ditampilkan di Instagram menjadi referensi bagi orang lain, menciptakan siklus di mana pengguna terus berusaha memenuhi standar hiperealitas yang mereka lihat.

Fetisisme: Gaya Hidup dan Objek sebagai Simbol Status

Dalam konsep fetishism of commodities Marx, objek-objek komoditas tidak hanya memiliki nilai guna, tetapi juga nilai simbolis yang dilekatkan oleh masyarakat. Di Instagram, fenomena fetisisme ini terlihat jelas dalam bagaimana barang dan pengalaman diperlakukan sebagai simbol status sosial. Barang seperti ponsel terbaru, pakaian bermerek, dan kuliner mewah bukan hanya objek konsumsi, tetapi juga penanda identitas dan gaya hidup yang diunggah di media sosial.

Di Indonesia, penggunaan Instagram untuk memamerkan gaya hidup mewah sangat terlihat di kalangan kelas menengah ke atas dan selebriti. Tren seperti unboxing barang-barang mahal atau foto di lokasi wisata eksklusif menunjukkan bagaimana objek-objek konsumsi dijadikan fetisisme visual. Bukan lagi soal nilai guna objek tersebut, tetapi soal bagaimana objek tersebut menandakan kesuksesan, kebahagiaan, dan pengakuan sosial.

Fenomena ini juga dapat dilihat dalam konten influencer yang mempromosikan berbagai produk atau layanan. Objek-objek yang ditampilkan oleh influencer mengalami fetisisme karena mereka tidak hanya menjual fungsi, tetapi juga imajinasi tentang kehidupan ideal. Produk kecantikan, misalnya, tidak hanya dipasarkan sebagai solusi untuk kulit sehat, tetapi juga sebagai jalan menuju kecantikan sempurna dan penerimaan sosial. Dalam konteks ini, Instagram bukan sekadar media, tetapi agen fetisisme yang memperkuat hubungan antara komoditas dan identitas.

Konstruksi Identitas dan Tekanan Sosial di Era Visual

Instagram memaksa pengguna untuk berpartisipasi dalam konstruksi identitas visual, baik secara sadar maupun tidak. Tekanan untuk tampil sempurna dan konsisten dalam konten pribadi menciptakan fenomena di mana pengguna merasa harus terus-menerus memenuhi ekspektasi sosial. Hal ini memunculkan "kecemasan performatif"—perasaan bahwa identitas seseorang hanya valid jika diakui melalui interaksi di media sosial, seperti jumlah like, komentar, atau pengikut.

Di Indonesia, tren ini memengaruhi berbagai kelompok, terutama generasi muda yang tumbuh di tengah dominasi media sosial. Fenomena seperti #OOTD (outfit of the day) atau tren glow up memperlihatkan bagaimana identitas individu dipertaruhkan melalui penampilan. Tidak hanya selebriti, tetapi juga pengguna biasa berlomba-lomba memamerkan kehidupan yang tampak ideal demi validasi sosial. Akibatnya, tekanan untuk memenuhi standar hiperealitas menjadi beban psikologis, menciptakan rasa tidak cukup atau FOMO (fear of missing out).

Namun, di sisi lain, Instagram juga memberi ruang bagi beberapa kelompok untuk mengekspresikan diri secara autentik dan menantang narasi dominan. Misalnya, akun-akun aktivis atau komunitas marginal memanfaatkan Instagram untuk mempromosikan isu sosial dan mengkritik budaya konsumtif. Di sini, Instagram menjadi ruang kontradiktif di mana hiperealitas dan resistensi berlangsung secara bersamaan.

Komodifikasi Relasi Sosial

Di Instagram, interaksi sosial seperti komentar, like, dan share telah menjadi bagian dari ekonomi perhatian. Platform ini dirancang agar setiap interaksi memiliki nilai ekonomi bagi perusahaan teknologi dan influencer yang beroperasi di dalamnya. Algoritma Instagram mendorong konten yang viral dan mendapat banyak keterlibatan, memperkuat pola konsumsi yang didasarkan pada visualisasi kehidupan ideal dan emosional.

Komodifikasi relasi sosial terlihat dalam cara influencer memanfaatkan interaksi digital sebagai sumber penghasilan. Dengan memonetisasi endorsement, paid partnership, dan afiliasi, relasi yang pada awalnya bersifat pribadi berubah menjadi transaksi ekonomi. Pengikut tidak lagi sekadar audiens, tetapi juga konsumen potensial bagi produk yang dipromosikan oleh influencer. Dalam konteks ini, Instagram bukan hanya platform berbagi, tetapi pasar digital yang memediasi hubungan antarindividu.

Instagram sebagai Ruang Hiperealitas dan Fetisisme

Instagram di Indonesia memperlihatkan bagaimana realitas sosial dan budaya dikonstruksi ulang melalui citra dan objek yang telah melalui proses estetisasi dan komodifikasi. Dengan konsep hiperealitas Baudrillard, kita melihat bagaimana representasi visual di Instagram menciptakan dunia baru yang mengaburkan batas antara yang nyata dan yang artifisial. Sementara itu, fetisisme Marxian memperlihatkan bagaimana objek-objek di Instagram tidak hanya diperlakukan sebagai barang konsumsi, tetapi juga sebagai simbol status dan identitas.

Dalam konteks sosial Indonesia, Instagram mencerminkan dinamika masyarakat yang tengah mengalami modernisasi dan komodifikasi. Platform ini menawarkan ruang untuk mengekspresikan diri, tetapi juga menciptakan tekanan sosial untuk tampil sempurna. Instagram adalah cermin masyarakat kontemporer: sebuah panggung di mana realitas, fantasi, dan konsumsi berbaur dalam siklus tanpa akhir. Pada akhirnya, pengguna Instagram berada dalam ketegangan antara keinginan untuk diakui dan kebutuhan untuk membebaskan diri dari standar-standar yang tidak realistis.

--

--

Raka Putra Pratama
Raka Putra Pratama

Written by Raka Putra Pratama

writer and socio worker | dive into digital marketing and popular culture in postmodern era

No responses yet