Hogendorp dan Gagasan Liberalisme Ekonomi di Awal 1800'an
Dalam artikel kali ini saya akan membahas kajian sejarah ekonomi di awal 1800'an. Periode ini merupakan titik ambruknya perekonomian Belanda dikarenakan bubarnya kompeni VOC yang dililit hutang, peperangan panjang di Eropa, dan konflik internal negeri Belanda. Di negeri jajahan bubarnya kompeni VOC yang korup mengharuskan negeri induk menasionalisasikan perusahan dagang tersebut dan mengambil alih wilayah Jawa yang dikusai VOC. Kebijakan ekonomi menjadi pertimbangan utama negeri induk, apakah kebijakan perekonomian di negeri jajahan akan tetap memakai sistem monopolistik VOC yang konservatif atau merombaknya menjadi sistem ekonomi pasar bebas seperti layaknya negeri-negeri di Eropa yang di mana kapitalisme sedang bergejolak saat itu?
Pada awal 1800’an beberapa saat setelah perusahaan dagang VOC bubar, muncul gagasan-gagasan ekonomi liberal dikalangan pejabat negeri Belanda. Suatu gagasan yang sangat bertentangan dengan sistem ekonomi sebelumnya, namun memiliki agitasi yang cukup kuat dalam pertimbangan ekonomi-politik negeri Belanda terhadap Hindia. Kalangan-kalangan konservatif yang menentang gagasan ini tetap keras mempertahankan system ekonomi ala kompeni yang mereduksi peranan pedagang swasta lain dalam perekonomian. Van Hogendorp seorang Belanda yang peduli terhadap negeri jajahan, yang mengusulkan pandangan ekonomi-politiknya terhadap pemerintahan Belanda dan juga seorang yang mengkritik metode system ekonomi ala kompeni.
Van Hogendorp membuat sebuah laporan yang memuat kondisi wilayah Hindia saat itu, laporan itu bernama ” Laporan Mengenai Kondisi-kondisi Wilayah Pendudukan Batavia di Hindia di Timur”. Laporan itu layaknya bom di lapangan ekonomi-politik Belanda, isi memuat laporan, kritik, dan pendapat terhadap sistem ekonomi Hindia. Menurutnya ekonomi di negeri jajahan haruslah sesuai dengan motif ekonomi kepentingan diri penduduk wilayah Hindia itu sendiri. Isi-isi dari laporan Hogendorp mempersoalkan isu-isu sentral ekonomi politik, apakah perdagangan di Hindia harus dijalankan negara, kompeni baru, atau individu-individu swasta.
Usulan yang termuat dalam laporan tersebut, Hogendorp mengajukan prinsip ekonomi liberal tentang kepemilikan pribadi atas tanah, kemerdekaan individu, kebebasan perdagangan, dan penghapusan kerja paksa. Prinsip-prinsip liberal ini sesuai dengan prinsip Revolusi Perancis liberte, egalite, dan fraternite. Dia berusaha menanamkan prinsip liberalisme Perancis di Hindia Belanda, bahkan dia merefleksikan bahwa penduduk Hindia Belanda adalah manusia seutuhnya yang tunduk pada motif ekonomi liberal ala Barat.
Hogendorp berargumen bahwa teori-teori ekonomi Adam Smith tentang ekonomi liberal akan sesuai di Hindia Belanda layaknya di Eropa. Baginya, prinsip ekonomi liberal laissez fraire akan menyejahterakan rakyat Hindia Belanda dan memasok kekayaan bagi negeri Belanda. Pandangan Hogendorp ini menjadi hal yang kontroversial dikalangan pejabat kolonial dan menuai perdebatan dikalangan pakar kolonial konservatif yang ingin mempertahankan system sebelumnya.
Pandangannya ini menuai tindakan dari pemerintah Belanda untuk membentuk suatu komite yang bertugas membuat laporan tentang perdagangan dan administrasi di wilayah Hindia Belanda. Hogendorp menjadi anggota komite tersebut yang seringkali gagasan ekonomi liberalnya dalam komite tersebut paradoksal dengan mayoritas anggota komite lain yang konservatif. Tentunya Hogendorp harus bersiap bersaing dalam forum menghadapi kaum konservatif dalam forum.
Pada 1807 laporan komite tersebut dikirimkan ke negeri Belanda, Hogendorp kalah dalam menguasai forum yang mengharuskan gagasannya tidak tertuang dalam laporan. Laporan tersebut isinya menjelaskan tentang kondisi penduduk Hindia Belanda dan menegaskan bahwa segala usaha yang mengubah sistem ekonomi di Hindia Belanda akan mengakibatkan hal tidak terduga seperti mereduksi kewibawaan penguasa pribumi, menurunkan produksi, terjadinya banyak penipuan, dan monopoli swasta dalam perdagangan. Dalam laporan tersebut tertuang bahwa system tanam paksa dan kerja paksa harus tetap dipertahankan untuk mempertahankan stabilitas ekonomi. Komite yang dikuasai kaum konservatif itu juga menolak produk investor secara garis besar.
Bahkan komite tersebut berargumen bahwa jika system ekonomi liberal, memungkinkan perekonomian akan jatuh dalam dominasi swasta asing. Tambahnya, bahwa jika perekonomian sesuai dengan prinsip bergerak sendiri atau laissez fraire tanpa campur tangan lebih pemerintah akan memungkin bahwa penduduk pribumi hanya akan memasok produksi beras tanpa ada komoditas lain untuk di ekspor yang dapat memasok pasar perdagangan Eropa.
Dalam komite ini gagasan-gagasan ekonomi liberal Hogendorp kalah dengan argumen system ekonomi konservatif kolonial yang dikemukakan oleh anggota mayoritas komite. Sistem ekonomi liberal sebagai gagasan inti Hogendorp gagal menempati podium yang menentukan untuk kebijakan ekonomi negeri jajahan Hindia Belanda.
Akan tetapi ketika Lous Napoleon adik Napoleon Bonaparte memimpin negeri Belanda dan menamakannya Kerajaan Holland sebagai boneka Kekaisaran Perancis. Gagasan Hogendorp ini menjadi pertimbangan untuk pemerintahan Perancis di Hindia.
Di masa Daendels kebijakan Hogendorp ini gagal dijalankan. Daendels datang atas utusan Perancis yang terkenal dengan semboyan liberte, egalite, dan fraternite. Daendels sebenarnya menginginkan ekonomi kolonial dijalankan dengan sistem ekonomi pasar bebas atau liberalisme ekonomi. Akan tetapi kondisi politik di negeri jajahan tidak memungkinkan hal itu. Daendels harus bersiap menghadapi serangan Inggris dan mengosolidasikan ekonomi Jawa secara komando.
Daendels yang awalnya menginginkan liberalisme ekonomi di negeri jajahan seusai dengan gagasan Hogendorp, keinginannya ini kandas. Daendels didikte oleh Perancis untuk mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Hal inilah yang mengharuskannya membangun Jalan Raya Pos, melakukan kerja paksa, atau tetap memonopoli kopi di Priangan. Daendels mungkin di satu sisi dapat dikatakan menjunjung tinggi nilai Revolusi Perancis dengan sikapnya yang anti feodal, namun Daendels gagal untuk lebih humanis dan liberal dalam perekonomian dikarenakan kondisinya yang tertekan.
Gagasan Hogendorp ini nantinya dijalankan saat pemerintahan Inggris di Jawa oleh Raffles. Letnan-Gubernur Raffles memimpin Jawa dengan kebijakan ekonomi yang lebih liberal daripada Daendels yang monopolistik dan konservatif. Raffles bertujuan untuk merangsang perdagangan bebas yang sesuai dengan teori-teori Adam Smith. Dia berusaha untuk memberi perlindungan terhadap sektor-sektor swasta penduduk pribumi. Menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme. Akan tetapi meski dalam segi perdagangan ekonomi Raffles menjunjung pasar bebas. Namun, dalam hal agraria Raffles membuat kebijakan bahwa semua tanah adalah milik negara. Hal inilah yang akan membuat adanya sistem landrente. Sampai di sini, kita mengetahui bahwa yang lebih humanis adalah Raffles. Raffles justru yang menekankan nilai-nilai Revolusi Perancis yang humanis dan libertarian, menekankan nilai-nilai musuhnya.
Gagasan Hogendorp ini kemudian hilang begitu saja saat Raffles hengkang dan Belanda kembali melakukan praktik kolonialismenya. Belanda tidak lagi mempertimbangkan kebijakan ekonomi apa yang akan dijalankan, Belanda saat itu kembali menjalankan kebijakan ekonomi konservatif. Belanda melakukan kontrol produksi dan memonopoli tanaman di Jawa -yang laku di pasaran Eropa- lewat Cultuurstesel. Hal ini dilakukan mengingat keuangan Belanda sedang berada di titik defisit.
Bangkrutnya kompeni VOC sebagai mesin uang negeri induk, pemberontakan Belgia yang menginginkan memisahkan diri dari negeri Belanda, perang-perang di Eropa, dan Perang Jawa 1825–1830 mengharuskan Pemerintah Hindia Belanda menerapkan kebijakan konservatif dan monopolistik, mengontrol produksi atas tanaman ekspor, mewajibkan tanam paksa dijalankan oleh wong cilik inlander agar dapat membuat negeri induk berada dalam stabilitas ekonomi.
Saya akan mengakhiri tulisan ini, dan tidak akan membahas Raffles lebih jauh. Saya ingin berpendapat, bahwasannya jika saja gagasan Hogendorp ini diterapkan oleh Daendels dan gubernur-gubernur setelah Raffles, Cultuurstesel atau tanam paksa pada 1830–1870 yang memakan banyak penderitaan dan kesengsaraan ini tidak akan diterapkan di Hindia Belanda.
Tidak akan ada wajib tanam atas komoditas ekspor sebesar 1/5 luas tanah. Tidak akan ada hubungan patronase antara pejabat lokal yang korup dan angkuh dengan Pemerintah Hindia Belanda yang eksploitatif itu. Tidak akan keharusan bekerja di proyek-proyek pemerintah kolonial yang melibatkan fisik bagi pribumi yang tidak memiliki tanah atau tidak menanam tanaman ekspor. Tidak akan ada akumulasi penderitaan rakyat kecil, wong cilik inlander atas kolonialisme dan feodalisme biadab!!
Pendapat yang saya kemukakan mungkin dapat disebut contra-factual dalam ilmu sejarah, akan tetapi saya selalu ingat perkataan dosen yang berkata :
“ Dalam sejarah kita tidak bisa membuat alur sejarah yang kita inginkan akan tetapi kita dapat mengandai-andai apabila alur sejarah itu berbeda”
Sumber referensi
Furnival, J.S 2009, Hindia Belanda : Studi tentang Ekonomi Majemuk, Freedom Institute, Jakarta.