Golongan Elite Baru dalam Birokrasi Kolonial di Abad-20

Raka Putra Pratama
5 min readMar 26, 2020

--

Sumber foto : Google

Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam mendorong kehidupan sosialekonomi. Pendidikan memiliki peranan untuk mencerdaskan kehidupan sosial, memperkuat jaminan masa depan bangsa sebagai fungsi sosial yang dimiliki homo socius. Disamping hal tersebut pendidikan memiliki fungsi individu bagi para pengembannya, khususnya para pengemban pendidikan tinggi. Fungsi individu itu khususnya adalah jaminan masa depan individu itu sendiri terlebih dalam kehidupan modernisasi perkotaan yang bersifat gesellschaft. Namun ada hal yang mendasar bagi pendidikan itu sendiri, yaitu agen perubahan sosial.

Secara historis pendidikan di masa kolonial saat negeri ini masih berada di bawah supremasi Hindia Belanda, pendidikan menciptakan golongan elite baru dalam masyarakat. Katakanlah bahwa secara sosiologis, pendidikan merupakan media mobilitas veritkal. Hal ini sesuai dengan apa yang terjadi saat ini dan masa awal abad ke-20. Namun bedanya di awal abad-20, pendidikan yang menciptakan golongan elite baru ini tidak hanya berfungsi untuk individu itu sendiri namun untuk perubahan sosial yang fundamental yang akan menjadi agen perubahan sistem kolonial semi feodal di awal abad-20, menuju arah modernisasi.

Pada 1901, Ratu Wilhelmina mengeluarkan kebijakan politik etis sebagai balas budi terhadap kaum pribumi di Hindia Belanda, atas saran para humanis di bangku Parlemen Belanda sebagai bentuk tanggung jawab moral terhadap pribumi di negeri jajahan. Pendidikan menjadi salah satu hal yang termuat dalam politik etis, walau dengan tujuan laten untuk memenuhi suply atas demand tenaga kerja pemerintah kolonial. Golongan pribumi yang sebelumnya sangat minim dalam bangku sekolahan sejak adanya politik etis ini jumlah partisipasi pribumi dalam pendidikan meningkat.
Di awal abad-20 menurut sejarawan besar Prof. Sartono Kartodirjo ada empat tipe sekolah di Hindia Belanda. Pertama, tipe sekolah dengan sistem pendidikan Eropa sepenuhnya berbahasa Belanda. Kedua, sekolah pribumi dengan memakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Ketiga sekolah bagi pribumi dengan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar. Keempat, sekolah sistem pribumi sepenuhnya. Sekolah tipe pertama hanya terdapat di daerah pulau Jawa sebagai pusat pemerintahan dan penduduk. Selain itu, terdapat juga perguruan tinggi seperti Technische Hogeschooll atau THS didirikan 1922 di Bandung yang kini menjadi ITB, Rechts Hogeschool di Jakarta, dan masih banyak lagi perguruan tinggi
yang didirkan di masa kolonial. Menurut sejarawan ekonomi J.S Furvinal, tercatat tedapat 75.000 masyarakat pribumi yang bersekolah di daerah Jawa pada awal abad-20.

Akan tetapi sistem pendidikan kolonial ini menimbulkan manifestasi stratifikasi sosial masyarakat semakin tajam. Orang-orang yang menempuh pendidikan harus memenuhi kualifikasi untuk dapat belajar di sekolah “tipe atas” dengan sistem Eropa bahasa Belanda. Rata-rata mereka yang belajar di tipe sekolah sistem ini paling dibutuhkan ijazahnya, mereka harus memiliki tolak ukur sosio-ekonomi seperti gaji orang tua, status sosial, dan hal-hal lain sebagai manifestasi kelas sosial. Sangat kecil jumlah orang yang dapat menempuh pendidikan sistem Eropa berbahasa Belanda atau tipe pertama yang dijelaskan di atas. Hal-hal tersebut merupakan diskriminasi yang lazim di masa Hindia Belanda, hal yang memperlambat emansipasi, dan intergrasi vertikal antara kelas priayi dan kelas bawah dalam struktur sosial masyarakat.

Meski demikian, sistem pendidikan yang membuka jalan bagi inlander ini berhasil menciptakan golongan elite baru atau priayi profesional dalam masyarakat, menambah kelas baru dalam struktur sosial masyarakat yang kompleks. Golongan elite baru ini adalah aktor pengganti jabatan birokratis di pemerintahan yang awalnya diduduki oleh golongan eksfeodal atau priayi ningrat. Golongan eks-feodal sebagai elite lama yang konservatif ini lambat laun tergerus kedudukannya oleh golongan elite baru profesional yang progresif.

Golongan elite lama yang terdiri dari kaum eks-feodal atau priayi ningrat dan juga para ulama semakin tereduksi perananannya dalam dinamika moderniasi, khususnya diperkotaaan. Posisi sosial mereka terancam oleh kehadiran golongan elite baru sebagai priayi profesional dalam struktur sosial masyarakat. Secara struktural fungsional, peran sosial priayi ningrat atau golongan eks-feodal semakin mengecil peranannya dalam strukur birokrasi. Akan tetapi, hal tersebut tidak menghilangkan prestise sosial mereka di mata masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan yang teguh pada nilai-nilai tradisional. Kondisi yang terjadi di kalangan elite lama, khususnya eks-feodal yang awalnya leluasa duduk di jabatan birokrasi pemerintahan ini mulai memiliki saingan yaitu golongan elite baru atau priayi profesional yang terlatih secara pendidikan. Hal ini yang membuat mereka menolak bentuk kebijakan moderniasi pemerintahan kolonial di awal abad-20.

Perlu diketahui bahwa awalnya pemerintah kolonial menerapkan sistem kolonial semi feodal untuk mendapatkan simpati dari kaum eks bangsawan. Para eks bangsawan atau feodal ini juga dimanfaatkan pemerintah kolonial dalam birokrasi karena mereka memiliki prestise kuat dari masyarakat pribumi sebagai yang mempermudah pemerintah kolonial Belanda dalam melancarkan agenda pax nederlandica secara implisit dan persuasif. Sebutlah para bupati di Jawa masa kolonial yang melembagakan jabatannya secara turun temurun dengan legitimasi dari pemerintah kolonial Belanda.

Ketika golongan elite baru yang profesional ini muncul sebagai produk mobilitas vertikal lewat pendidikan, maka golongan ini mempertegas otoritas rasional-legal seperti apa yang dikatakan sosiolog Max Webber dalam teori otoritasnya dan mereduksi otoritas tradisional yang dilembagakan oleh kaum eks-feodal secara de facto. Mereka mempenetrasikan dirinya ke dalam binnenland bestuur atau pangreh praja (pegawai pemerintah), khususnya jabatanjabatan strategis seperti assiten wedana atau camat, wedana atau kepala distrik, bahkan yang paling tinggi yaitu bupati. Mereka tidak hanya menduduki jabatan strategis di bidang politik namun juga bidang pertanian, perkebunan, dan industri. Hal ini tidak hanya terjadi di Jawa namun juga di Banten. Bahkan dalam disertasi Prof. Sartono Kartodirjo yang berjudul Pemberontakan Petani Banten 1888, salah satu kausalitas pemberontakan yang kompleks adalah munculnya golongan elite baru profesional dalam birokrasi pemerintahan yang memperkecil bahkan menyingkirkan peranan dan otoritas tradisional para eks bangsawan dalam birokrasi yang mengalami kecemburuan sosial, yang untuk beberapa hal dapat diatasi dengan perkawinan yang berlatar belakang diferensiasi socio-cultural golongan elite baru dan eks-bangsawan sebagai elite lama.

Penetrasi golongan elite baru profesional dalam struktur pemerinntahan yang menggantikan golongan eks-feodal sebagai elite lama konservatif dalam jabatan ini tidak hanya sebagai pendorong perubahan sosial. Namun juga mereka terlibat sebagai aktor protagonis dalam modernisasi di masa akhir kolonial yang semakin mendisintegrasikan feodalisme dalam tubuh kolonialisme yang dijalankannya, dan menuju arah solidaritas organik yang lebih nyata yang melumpuhkan kesadaran kolektif atas nilai-nilai tradisionalisme dan keturunan. Menciptakan profesionalitas pekerjaan dalam bidangnya masing-masing. Lebih jauh dari itu sebagian dari mereka seperti Ir.Soekarno, Moh.Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka dan para aktivis kemerdekaan lainnya merupakan aktor intelektual dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia.

--

--

Raka Putra Pratama
Raka Putra Pratama

Written by Raka Putra Pratama

from the author-activist | study advertising and popular culture in the postmodern era

No responses yet