Di Hutan Mangrove

Raka Putra Pratama
3 min readOct 3, 2024

--

Pagi itu, Siti bangun dengan perasaan gelisah. Suara ombak yang berdebur lembut di pinggir pantai tidak lagi terasa menenangkan. Selama sepuluh tahun terakhir, dia bekerja di hutan mangrove di desa Banjarmasin, mengandalkan hasil sagu untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Namun, rencana PT Sinar Lestari untuk menjual tanah ini kepada pengembang menjadi ancaman nyata bagi kehidupannya.

Setiap hari, Siti dan para buruh lainnya mengolah sagu dengan penuh harapan. Hutan mangrove ini bukan hanya sumber penghidupan, tetapi juga simbol dari segala yang mereka miliki. Namun, berita tentang penutupan ladang sagu membuatnya semakin cemas. “Kalau mereka tutup, apa yang akan terjadi pada kita?” tanya Farhan, sahabatnya, saat mereka berdiri di bawah pohon mangrove yang rimbun.

“Aku tidak tahu,” jawab Siti, hatinya dipenuhi ketakutan. “Tapi kita harus melakukan sesuatu. Kita tidak bisa hanya diam.”

Kehidupan sehari-hari Siti sudah penuh dengan tantangan. Ia harus merawat dua anaknya, Aisyah dan Budi, sambil bekerja di ladang. Setiap kali ia pulang dari kerja, anak-anaknya menanti dengan wajah ceria, tetapi perut mereka seringkali kosong. Jika dia tidak membawa pulang cukup uang atau hasil panen, mereka terpaksa menghemat makanan. Melihat anak-anaknya kelaparan membuatnya merasa hancur.

Malam itu, saat dia sedang menyiapkan makan malam, Siti mendengar suara anak-anaknya dari luar. “Ibu, kapan kita bisa makan ayam lagi?” tanya Budi dengan penuh harapan. Pertanyaan itu seolah menampar wajahnya, mengingatkan bahwa mereka telah lama tidak makan makanan yang layak. Siti memandang anak-anaknya, hati teriris oleh kenyataan pahit yang harus mereka hadapi.

Keesokan harinya, Siti dan para buruh berkumpul di balai desa. Suasana tegang, semua orang tampak cemas. “Kita harus melawan rencana perusahaan ini! Kita tidak bisa kehilangan hutan mangrove!” seru Lina, seorang buruh yang dikenal berani. Semua yang hadir setuju, tetapi ketakutan mengintai di balik semangat mereka.

Mereka sepakat untuk mengadakan demonstrasi di depan kantor perusahaan. Siti merasa semangatnya menyala. Dia ingin menjadi suara bagi semua buruh yang merasa terancam. Di tengah-tengah demonstrasi, mereka mengangkat spanduk bertuliskan “Selamatkan Hutan Mangrove! Tanah Kami, Hidup Kami!”

Namun, ketika mereka tiba di kantor perusahaan, Pak Hartono, manajer yang dingin dan berkuasa, keluar dengan wajah tanpa ekspresi. “Proyek ini sudah final. Kami tidak bisa mempertahankan ladang ini hanya untuk kepentingan kalian,” katanya dengan nada meremehkan.

“Ini bukan hanya tentang uang! Ini tentang hidup kami!” teriak Farhan, suaranya menggema. “Tanpa hutan ini, kami akan kehilangan segalanya!”

“Jika kalian tidak setuju, silakan cari pekerjaan lain. Kami tidak bisa menahan proyek ini,” jawab Pak Hartono, wajahnya tak menunjukkan rasa empati.

Hati Siti hancur mendengar kata-kata itu. Tanah yang mereka garap selama bertahun-tahun kini dianggap tidak lebih dari sekadar lahan kosong untuk kepentingan keuntungan perusahaan. Dengan langkah lesu, mereka meninggalkan kantor, merasakan beban di hati mereka semakin berat.

Beberapa minggu berlalu, dan Siti merasakan dampak langsung dari keputusan perusahaan. Masyarakat desa mulai berjuang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Siti dan keluarganya terpaksa menjual perhiasan dan barang-barang berharga lainnya untuk bertahan hidup. Ketika dia duduk di teras rumahnya, memandangi anak-anak yang bermain, rasa sakit itu semakin dalam.

“Apa yang akan kita lakukan, Ibu?” tanya Aisyah, matanya menatap penuh rasa ingin tahu.

Siti menarik napas dalam-dalam. “Kita akan mencari cara. Kita tidak bisa menyerah, Nak,” jawabnya, meski dalam hati dia merasa putus asa.

Malam itu, Siti duduk sendiri di gelap, memikirkan masa depan mereka. Dia teringat akan suara tawa anak-anaknya yang ceria. Tanpa pekerjaan, masa depan mereka menjadi semakin suram. Dan yang lebih menyedihkan, impian untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi anak-anaknya kini terasa semakin jauh.

Ketika Siti memikirkan semua yang telah hilang, ia menyadari betapa besar dampak ekonomi yang dirasakan oleh keluarganya. Hutan mangrove yang dulunya memberi mereka kehidupan kini berubah menjadi sumber penderitaan. Di tengah perdebatan tentang pembangunan dan keuntungan, mereka yang terpinggirkan adalah buruh yang harus menanggung semua konsekuensi.

Di depan bekas hutan mangrove, Siti menatap puing-puing yang tersisa. Dia tahu bahwa perjuangan mereka belum berakhir, meskipun harapan terasa tipis.

Di dunia yang dikuasai oleh kepentingan kapitalis, dia ingin anak-anaknya tumbuh menjadi generasi yang sadar akan hak-hak mereka, dan siap berjuang untuk masa depan yang lebih baik.

Malam itu, saat bintang-bintang bersinar di langit, Siti bertekad untuk mengajarkan anak-anaknya bahwa meskipun hutan mangrove telah hilang, semangat untuk melawan ketidakadilan tidak boleh padam. Mereka mungkin kehilangan segalanya, tetapi suara mereka tetap akan hidup, memperjuangkan hak-hak yang seharusnya dimiliki setiap manusia.

--

--

Raka Putra Pratama

writer and socio worker | dive into digital marketing and popular culture in postmodern era