Dalam Bayangan Stiglitz: Ketimpangan dan Sandiwara Dunia

Raka Putra Pratama
4 min readJust now

--

Di tengah narasi pertumbuhan dan modernisasi, ketimpangan ekonomi semakin menganga—menghantui kehidupan masyarakat urban dan pinggiran. Gagasan Joseph E. Stiglitz memberi perspektif bahwa masalah ini bukan sekadar kecelakaan, melainkan produk dari desain sistemik. Namun, memahami ketimpangan dan kegagalan pasar secara utuh membutuhkan lebih dari sekadar kritik.

Dengan perspektif ekonomi politik perbandingan, kita bisa melihat bagaimana berbagai negara menavigasi konflik antara kapital, pasar, dan kebijakan negara. Dengan melampaui batas teori tunggal, esai ini akan membedah gagasan Stiglitz dan membandingkan model ekonomi dunia yang menawarkan pelajaran bagi Indonesia.

Kapitalisme Liberal vs. Kapitalisme Terpimpin: Di Mana Indonesia Berdiri?

Stiglitz menentang dogma kapitalisme liberal yang mendominasi kebijakan negara-negara seperti Amerika Serikat. Dalam sistem ini, pasar dianggap sebagai solusi atas semua masalah, dan peran negara diminimalkan. Namun, seperti yang dijelaskan Stiglitz, “ketergantungan pada pasar bebas justru memperdalam ketimpangan dan memperlambat pertumbuhan jangka panjang” (Stiglitz, 2002). Amerika Serikat kini menghadapi konsentrasi kekayaan pada 1% populasi, dengan gaji CEO 399 kali lipat lebih besar daripada rata-rata pekerja (Economic Policy Institute, 2023).

Sebaliknya, negara-negara Nordik seperti Swedia dan Denmark menawarkan kapitalisme sosial-demokrasi, di mana negara aktif dalam redistribusi kekayaan melalui pajak progresif dan layanan publik universal. Meski beroperasi dalam kerangka kapitalisme, mereka berhasil menjaga kesejahteraan dan menekan ketimpangan. Koefisien Gini di Swedia pada 2022 hanya 0,28, jauh lebih rendah dibandingkan Amerika Serikat yang berada di angka 0,41 (OECD, 2023).

Indonesia mencoba memadukan pasar bebas dan intervensi negara, tetapi hasilnya belum optimal. Alih-alih menciptakan keseimbangan, kita terjebak dalam birokrasi korup dan dominasi oligarki. Kritik Stiglitz relevan di sini: “Tanpa institusi yang kuat, pasar akan selalu condong pada kepentingan mereka yang berkuasa” (Stiglitz, 2012).

Kapitalisme Otoriter Cina: Alternatif atau Jalan Buntu?

Cina menawarkan model berbeda: kapitalisme otoriter dengan kontrol negara yang ketat. Negara memimpin pembangunan dan mengarahkan investasi strategis, namun tetap membuka ruang bagi kapital asing. Pertumbuhan Cina yang rata-rata mencapai 6,3% per tahun sejak 2010 (World Bank, 2023) menunjukkan bahwa intervensi negara bisa mendorong kemajuan. Namun, bisakah Indonesia meniru model ini?

Perbedaan mendasar terletak pada struktur politik. Cina memiliki kekuasaan politik terpusat yang memungkinkan pengambilan keputusan cepat dan konsisten. Indonesia, dengan demokrasi elektoralnya, sering kali tersandera oleh kepentingan politik jangka pendek dan korupsi. Seperti dicatat Stiglitz, “Intervensi negara harus disertai dengan transparansi dan tata kelola yang baik agar tidak menjadi alat korupsi” (Stiglitz, 2012).

Amerika Latin: Nasionalisasi dan Populisme yang Menyimpang

Pengalaman Amerika Latin seperti Argentina dan Venezuela menawarkan pelajaran pahit tentang risiko nasionalisasi tanpa manajemen yang baik. Upaya melepaskan diri dari kapital global melalui nasionalisasi sektor strategis sering kali berujung pada korupsi dan penurunan produktivitas. Hiperinflasi di Venezuela mencapai 500% pada 2023, menghancurkan daya beli masyarakat (IMF, 2023).

Indonesia pernah mencoba proteksionisme di era Orde Baru pada 1970’an. Akan tetapi praktik tersebut justru memperkaya kroni-kroni penguasa. Seperti yang disoroti Stiglitz, intervensi negara hanya efektif jika disertai tata kelola yang baik dan akuntabilitas publik. Alih-alih membuka ruang kesejahteraan, kebijakan proteksionis yang tidak dikelola dengan baik akan menciptakan masalah baru.

Globalisasi: Peluang atau Perangkap bagi Negara Berkembang?

Dalam Globalization and Its Discontents, Stiglitz (2002) mengkritik bagaimana globalisasi sering kali memperburuk ketimpangan di negara berkembang. Alih-alih menjadi mitra sejajar dalam rantai nilai global, Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya hanya menjadi pemasok bahan mentah dan buruh murah. Ekspor komoditas seperti kelapa sawit dan nikel telah menciptakan keuntungan besar bagi korporasi multinasional, namun rakyat lokal tetap hidup dalam kemiskinan.

Pengalaman Korea Selatan menunjukkan bahwa globalisasi bisa dimanfaatkan untuk kepentingan domestik. Dengan kebijakan industrialisasi yang cermat, Korea berhasil membangun industri nasional yang kuat. Pada 2023, GDP per kapita Korea Selatan mencapai $33.000 (World Bank, 2023), sementara Indonesia masih tertahan di angka sekitar $5.000. Ini membuktikan bahwa negara berkembang bisa memanfaatkan globalisasi jika memiliki visi jangka panjang dan konsistensi kebijakan.

Mencari Jalan Tengah di Tengah Ketidakpastian

Dalam bayangan Stiglitz, ekonomi bukan hanya soal angka, tetapi soal keadilan dan kesejahteraan bersama. Kritiknya terhadap pasar bebas dan ketimpangan menawarkan pelajaran penting bagi Indonesia. Perbandingan model ekonomi dunia menunjukkan bahwa tidak ada satu formula tunggal yang bisa diterapkan di semua konteks.

Indonesia perlu mencari jalan tengah: bukan kapitalisme liberal yang memperburuk ketimpangan, dan bukan pula proteksionisme populis yang rentan korupsi. Negara harus hadir sebagai penyeimbang antara pasar dan kepentingan publik.

Seperti ditekankan Stiglitz, “Ekonomi yang sehat bukan hanya tentang pertumbuhan, tetapi memastikan semua orang mendapat bagian yang adil dari pertumbuhan itu” (Stiglitz, 2012).

Di tengah ketidakpastian global, pertanyaannya bukan lagi apakah kita harus berubah, tetapi kapan dan bagaimana perubahan itu terjadi. Jika tidak, seperti diperingatkan Stiglitz, pasar yang tidak terkendali akan hancur oleh ketidakadilan yang diciptakannya sendiri.

Daftar Pustaka

Economic Policy Institute. (2023). CEO pay has skyrocketed 1,460% since 1978: Pay of the top 0.1% and the 99% diverges. Diakses dari www.epi.org.

IMF. (2023). World Economic Outlook Database. Diakses dari www.imf.org.

OECD. (2023). Income Inequality (Gini Index). Diakses dari www.oecd.org.

Stiglitz, J. E. (2002). Globalization and Its Discontents. New York: W. W. Norton & Company.

Stiglitz, J. E. (2012). The Price of Inequality: How Today’s Divided Society Endangers Our Future. New York: W. W. Norton & Company.

World Bank. (2023). GDP per capita (current US$). Diakses dari www.worldbank.org.

--

--

Raka Putra Pratama

writer and socio worker | dive into digital marketing and popular culture in postmodern era