Cerita Personal: Diperantauan Kota Kembang
Bandung menyimpan pesonanya sendiri—udara sejuk, jalanan penuh kafe, dan lampu-lampu kota yang selalu hidup. Tapi di balik keindahan itu, hidup sebagai perantau di sini bukanlah perkara mudah. Saya datang dari kampung dengan harapan besar menempuh perguruan tinggi, di Unpad.
Selama kuliah, saya bukan hanya belajar di kelas; saya juga bekerja full-time sambil aktif sebagai aktivis di kampus. Di akhir pekan, saya tenggelam dalam kajian, berdemonstrasi di jalanan, menulis esai kritis dan memproduksi pengetahuan di perpustakaan. Kala itu, saya percaya dunia bisa diubah lewat aksi kolektif dan gagasan besar, sambil berusaha menyeimbangkan idealisme dengan realitas harian.
Tak terasa aktivisme telah menjadi usai. Saya semakin berhadapan langsung dengan ekonomi yang dingin, tak memberi ruang untuk idealisme. Realitas menghantam dari segala arah: sewa kamar yang terus naik, harga pangan yang melambung, dan upaya mengirim uang ke kampung setiap bulan.
Sistem menuntut kita terus bekerja, tapi jarang memberikan jaminan apa pun. Upah minimum sedikit lebih dan pendapatan sampingan sering kali tidak sebanding dengan kenaikan biaya hidup. Tingkat inflasi seperti hantu yang tak terlihat, tapi dampaknya terasa setiap hari di dompet.
Hidup saya kini seperti siklus tanpa ujung—bangun pagi, bekerja, dan mengulang rutinitas yang sama. Gaji bulanan hanya cukup untuk bertahan, dengan sedikit yang bisa ditabung. Hedonisme dan gaya hidup urban terasa seperti ilusi bagi sebagian besar pekerja, karena setiap rupiah harus diatur ketat. Di kota seperti Bandung, ekonomi bergerak cepat—orang-orang bersaing, barang-barang berubah harga, tapi anehnya, langkah saya terasa seperti di tempat yang sama.
Ekonomi makro—yang sering saya ikuti dalam kajian kampus dulu—sekarang menjadi nyata di kehidupan sehari-hari. Ketika inflasi naik, daya beli menurun; suku bunga naik, likuiditas terasa semakin berat; dan kebijakan fiskal atau moneter pemerintah seolah tak cukup membantu kelas pekerja biasa seperti saya. Distribusi kekayaan semakin timpang—di satu sisi, kemewahan terasa di beberapa sudut kota; di sisi lain, orang-orang bertahan dengan gaji minimum, tanpa kepastian masa depan.
Kadang saya bertanya, apakah ini harga dari idealisme yang terkalahkan? Apakah menjadi dewasa dengan realitas struktual berarti harus menyerah pada kenyataan bahwa sistem ekonomi tidak berpihak kepada kita? Saya belajar bahwa mimpi-mimpi tentang perubahan struktural harus bertarung dengan fakta ekonomi yang tak bisa dihindari. Pertumbuhan ekonomi nasional sering disebut positif, tapi di tingkat individual hidup tetap penuh ketidakpastian.
Neoliberalisme, menurut David Harvey (2003) mengakumulasi kekayaan melalui "accumulation by dispossession," yaitu perampasan aset publik dan hak-hak sosial demi kepentingan pasar. Dalam konteks ketenagakerjaan, deregulasi dan fleksibilisasi membuat pekerja terjebak dalam kontrak jangka pendek tanpa jaminan stabilitas. Alih-alih menciptakan kesejahteraan, kebijakan ini mendorong ketidakpastian, di mana pekerja dipaksa menanggung risiko ekonomi yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara melalui berbagai mekanisme perlindungan sosial.
Michel Foucault dalam The Birth of Biopolitics (2008) menyoroti bahwa dalam masyarakat neoliberal, pekerja dikonstruksikan sebagai “entrepreneur of the self,” yakni individu yang dituntut untuk mengelola hidupnya secara mandiri seperti mengelola perusahaan. Pilihan untuk menjalani pekerjaan ganda, menabung secara agresif, atau merintis bisnis kecil bukanlah tanda kebebasan, melainkan respons terpaksa terhadap lingkungan ekonomi yang tidak memberikan jaminan. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan dalam kerangka neoliberal justru mempersempit ruang hidup banyak orang, dengan memindahkan beban ketidakpastian dari negara dan pasar ke pundak individu.
Saya punya rencana sederhana: bekerja beberapa tahun lagi, menabung sedikit demi sedikit, dan berharap bisa membangun bisnis sendiri—sesuatu yang lebih stabil dan berkelanjutan. Saya tak ingin selamanya terjebak dalam roda ekonomi kapital yang memaksa kita bekerja tanpa henti hanya untuk sekadar bertahan. Di tengah ketidakpastian ini, saya yakin bahwa bertahan juga bisa menjadi bentuk perlawanan kecil—melawan ketidakadilan dan ketimpangan yang terasa semakin nyata.
Bandung mengajarkan saya banyak hal, tentang kompromi, ketimpangan, dan ketidakpastian yang harus diterima. Dulu, saya kira perubahan bisa terjadi cepat dan revolusioner, tapi kini saya sadar bahwa perubahan harus dimulai dari diri sendiri, perlahan-lahan, di sela-sela rutinitas. Di malam-malam dingin Kota Kembang, saya berjalan dengan langkah yang tak selalu pasti, tapi saya tahu, harapan tidak boleh hilang—karena bertahan di tengah krisis adalah bentuk perjuangan paling jujur yang bisa saya lakukan sembari berharap rezim ini runtuh.
Daftar Pustaka
Foucault, Michel. (2008). The Birth of Biopolitics: Lectures at the Collège de France, 1978–1979. New York: Palgrave Macmillan.
Harvey, David. (2003). The New Imperialism. Oxford: Oxford University Press.