Buku yang Tertinggal di Toko Bunga
Pagi itu, toko bunga milik Clara tampak lebih sepi dari biasanya. Hujan deras yang mengguyur kota membuat banyak orang memilih untuk tetap berada di dalam rumah. Hanya beberapa pelanggan yang datang, membeli bunga untuk acara kecil atau sekadar mencari sedikit keindahan di tengah langit yang mendung.
Clara, seperti biasa, duduk di meja kayu tua di belakang toko, membenahi buku-buku catatan dan merapikan bunga-bunga yang ada di rak. Ada sesuatu yang menenangkan dalam rutinitas sehari-hari itu. Bunga-bunga yang mekar, meskipun hanya sementara, selalu mengingatkannya pada keindahan yang bisa ditemukan dalam setiap detik hidup, meskipun dunia luar sering kali terasa berat.
Namun, pagi itu ada yang berbeda. Di salah satu meja dekat jendela, tergeletak sebuah buku kecil dengan sampul berwarna biru tua. Clara mengernyitkan dahi. Ia tidak ingat ada yang datang dan meninggalkan buku itu. Buku itu tidak terlihat seperti milik salah satu pelanggan yang sering mampir. Tidak ada nama atau tanda yang jelas di sampulnya, hanya tulisan tangan kecil di pojok bawah halaman pertama, “Untuk yang mencari, semoga kau menemukannya di sini.”
Clara memungut buku itu, merasakan beratnya yang aneh, bukan karena fisiknya, tetapi karena ketidakpastian yang ada di dalamnya. Ia membuka halaman pertama, lalu beberapa halaman berikutnya. Buku itu tampaknya bukan buku biasa—halamannya dipenuhi dengan catatan kecil, cerita, dan puisi-puisi yang tampaknya ditulis dengan penuh perasaan.
Setiap kalimat yang tertera seperti menceritakan kisah seseorang yang pernah merasakan kehilangan, pencarian, dan harapan yang tidak pernah padam. Namun, yang paling mencolok adalah tulisan yang sering muncul di banyak bagian buku: "Jangan pernah berhenti mencari."
Penasaran, Clara mulai membaca lebih dalam. Setiap kata yang tertulis tampaknya berbicara langsung kepada dirinya. Ada bagian yang menceritakan tentang seseorang yang melarikan diri dari kenyataan hidup, mencari arti dalam hal-hal yang sederhana, seperti bunga yang tumbuh di taman atau buku yang tertinggal di meja. Clara merasa seperti tengah memecahkan teka-teki yang aneh, namun indah. Buku itu seakan memberikan jawaban yang ia cari-cari selama ini.
Hari berlalu dan hujan belum juga berhenti. Clara masih duduk di kursinya, membaca buku yang tertinggal itu, sementara toko bunga semakin sepi. Suara detak jam dinding menjadi satu-satunya yang terdengar, menemani Clara yang mulai tenggelam dalam dunia buku itu. Entah kenapa, ada sesuatu yang menenangkan dan menggetarkan sekaligus dalam cerita-cerita yang tertulis di dalamnya.
Clara merasa seperti sedang berbicara dengan seseorang—mungkin seseorang yang pernah datang ke toko ini, meninggalkan bukunya dengan sengaja, seolah memberi pesan yang hanya bisa dipahami oleh orang yang tepat.
Pada saat itulah, pintu toko berbunyi. Seorang pria muda masuk dengan wajah basah kuyup. Matanya menatap ke sekeliling, kemudian berhenti di meja tempat Clara duduk. Clara tersenyum kecil, mengangguk sebagai tanda menyapa, tetapi pria itu tidak langsung menyapa balik. Ia terlihat ragu, gelisah, seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
“Apa yang bisa saya bantu?” tanya Clara lembut.
Pria itu berjalan perlahan menuju meja dan duduk, menatap bunga-bunga yang ada di sekitar toko tanpa mengatakan sepatah kata pun. Clara merasa ada sesuatu yang membebani pria itu, seperti ada beban berat yang tak bisa ia ungkapkan.
Lama kelamaan, Clara merasa aneh, seperti ada hubungan antara pria itu dan buku yang tertinggal. Tanpa bisa dijelaskan, hatinya berkata bahwa buku itu milik pria ini—seolah ia yang menulisnya. Setelah beberapa menit hening, Clara memberanikan diri.
“Apakah ini milikmu?” Clara mengangkat buku biru itu, menunjukkannya kepada pria itu.
Pria itu menoleh, matanya membelalak sejenak sebelum kemudian menunduk. “Ya,” jawabnya pelan, “Buku itu… saya tinggalkan di sini beberapa minggu yang lalu.”
“Kenapa tidak membawanya pulang?” Clara bertanya, meskipun ia tahu jawabannya tidak akan sesederhana itu.
Pria itu menghela napas panjang. “Karena… saya tidak tahu harus melanjutkan hidup ke mana lagi. Terkadang, meninggalkan sesuatu di tempat yang tak terduga adalah cara untuk menemukan kembali diri kita.”
Clara terdiam, merenung. Ia memandang pria itu yang tampak terhanyut dalam pikirannya sendiri. Ada sesuatu dalam dirinya yang bergejolak, seolah ia ingin membantu, tetapi ia tidak tahu harus mulai dari mana.
“Apa yang kamu cari?” Clara bertanya dengan hati-hati.
Pria itu terdiam sejenak, lalu menatap Clara dengan tatapan kosong yang penuh penyesalan. “Saya mencari jawabannya… tapi saya tidak tahu apa yang saya harapkan. Buku itu adalah perjalanan saya. Tulisannya, kata-katanya—semuanya seolah memberi tahu saya bahwa saya harus mencari, terus mencari, meskipun saya sendiri tidak tahu apa yang saya cari.”
Clara mengangguk pelan, memahami lebih dari yang bisa ia ungkapkan. Ia meletakkan buku itu di meja, di antara mereka berdua. "Mungkin jawaban itu tidak datang dalam bentuk yang kita harapkan. Tapi mungkin, kita harus terus mencari di tempat yang tak terduga—seperti buku yang tertinggal di toko bunga ini."
Pria itu tersenyum kecil, seolah ada sesuatu yang mulai menyentuh hatinya. Mungkin ia tidak akan menemukan semua jawabannya hari itu, atau mungkin memang tidak ada jawaban pasti. Namun, buku itu—buku yang tertinggal di toko bunga—memberinya pemahaman baru tentang pencarian yang tidak harus selalu berujung pada sesuatu yang jelas. Kadang, yang penting adalah perjalanan itu sendiri, dan kebijaksanaan yang ditemukan di tengah pencarian.
Toko bunga itu kembali sepi setelah pria itu pergi, namun Clara tahu bahwa ia tidak akan melupakan hari itu. Seperti bunga-bunga yang bermekaran, setiap cerita dan perjalanan yang tertinggal di toko itu memberi makna yang lebih dalam—dan terkadang, hanya di tempat yang tak terduga, kita bisa menemukan bagian dari diri kita yang hilang.