Baju Lusuh yang Dipinjam Pak Anton

Raka Putra Pratama

--

Pak Anton memandangi baju seragam lusuh yang baru saja diterimanya. Warnanya sudah memudar, logo perusahaan di bagian dada mulai mengelupas, dan jahitannya ada yang robek di bagian bahu. Baju itu tak lagi terlihat seperti seragam perusahaan bonafid yang sering dipamerkan di media sosial perusahaan. Tapi begitulah adanya: seragam bekas yang diwariskan dari karyawan sebelumnya.

“Ini, Pak. Seragam untuk bekerja,” kata HRD perempuan yang menyerahkan baju itu tadi pagi dengan senyum tipis, tanpa rasa canggung sedikit pun.

“Baru, Bu?” tanya Pak Anton dengan ragu.

“Dipakai yang sebelumnya, Pak. Tapi masih bagus kok. Cuci aja dulu kalau mau dipakai,” jawabnya, ringan.

Bagus? Pak Anton menahan napas. Bahkan tali serut di celana seragam itu sudah putus. Ia tersenyum masam, menerima pakaian itu dengan setengah hati.

Di perusahaan tempat Pak Anton bekerja, segalanya seperti seragam lusuh itu—dibungkus dengan janji-janji manis, tetapi kenyataannya jauh dari layak. Di awal wawancara, perusahaan berjanji memberi tunjangan makan, transportasi, hingga bonus setiap akhir tahun. Tetapi kenyataan di lapangan berbeda. Bahkan, untuk seragam saja, mereka tak sanggup memberikan yang baru.

“Anton, belum berangkat?” suara Pak Budi, rekannya, membuyarkan lamunannya.

Pak Budi berdiri di depan pintu rumah kontrakan mereka. Ia juga memakai seragam yang sama lusuhnya. “Baju warisan juga?” tanya Pak Budi, sambil menunjuk seragam di tangan Anton.

Pak Anton mengangguk. “Iya. Katanya masih bagus, tapi lihat aja sendiri.”

Pak Budi terkekeh pelan. “Ya begitulah mereka. Perusahaan ini hematnya cuma ke kita. Kalau buat owner, beda cerita.”

Anton sudah mendengar cerita itu sebelumnya—bagaimana sang owner perusahaan, seorang pria paruh baya yang gemar tampil di acara-acara mewah, kerap memamerkan gaya hidupnya. Mobil sport terbaru, liburan ke luar negeri, hingga pesta ulang tahun anaknya yang diadakan di hotel bintang lima. Namun, untuk karyawan, bahkan seragam pun mereka berikan bekas.

Di pabrik, cerita seragam itu menjadi lelucon sehari-hari. Salah satu rekan kerja Anton bahkan pernah menerima celana seragam yang ukurannya terlalu kecil.

“Kalau nggak pas, akalin aja. Jahit sendiri. Perusahaan nggak tanggung jawab soal itu,” ucap HRD dengan nada datar saat itu.

Meski merasa marah dan terhina, para pekerja tak bisa berbuat banyak. Seragam hanyalah satu dari banyaknya simbol ketidakadilan yang mereka alami.

Gaji yang nyaris tak cukup untuk makan, lembur tanpa tambahan upah, hingga potongan gaji dengan alasan yang tak masuk akal. Tapi mereka tetap bertahan. Mungkin karena kebutuhan. Mungkin juga karena tak ada pilihan lain.

Anton bertahan selama dua tahun di tempat itu. Ia bekerja keras, memberikan seluruh tenaga dan pikirannya, bahkan sering kali lembur tanpa dibayar, hanya untuk memastikan target perusahaan tercapai. Namun, setelah dua tahun, ia sadar bahwa usahanya tak pernah dihargai.

Ketika akhirnya ia memutuskan untuk resign, ia berpikir bahwa setidaknya ia bisa meninggalkan perusahaan itu dengan tenang. Namun, saat ia menyerahkan surat pengunduran diri, HRD memanggilnya ke ruangan.

“Pak Anton, sebelum keluar, tolong seragamnya dikembalikan ya,” kata HRD dengan nada tegas.

Pak Anton terdiam. “Dikembalikan, Bu? Seragam ini kan sudah lusuh, bekas orang lain juga. Lagipula, saya sudah bekerja dua tahun di sini.”

“Peraturan perusahaan, Pak. Kalau seragam nggak dikembalikan, nanti gaji terakhir Bapak dipotong.”

Anton menahan emosi yang hampir meledak. Ia menatap seragam lusuh itu di tangannya. Seragam yang telah menemaninya bekerja di bawah tekanan, yang menyerap keringatnya, dan yang menjadi saksi betapa kerasnya ia berusaha untuk perusahaan ini. Dan sekarang, mereka ingin mengambilnya kembali.

“Baiklah,” kata Anton akhirnya. “Saya kembalikan. Tapi tolong sampaikan ke owner, seragam ini adalah simbol betapa pelitnya perusahaan ini. Setelah semua yang saya berikan, mereka bahkan tak rela membiarkan saya membawa kain usang ini.”

HRD itu hanya terdiam, tak berani menatap mata Anton.

Anton menyerahkan seragam itu dengan tangan gemetar. Ia tahu, baju lusuh itu hanyalah kain. Tapi di dalamnya tersimpan rasa sakit, penghinaan, dan perjuangan yang tak pernah dihargai.

Saat ia melangkah keluar dari kantor itu untuk terakhir kalinya, ia merasa lebih ringan. Bukan karena meninggalkan seragam itu, tetapi karena ia tahu, ia meninggalkan perusahaan yang tak pernah benar-benar menghargai manusia.

--

--

No responses yet