Bahaya Laten PKI

Raka Putra Pratama
3 min readSep 10, 2021

--

Tertibaku berada di bulan September. Tak terasa mulai memasuki penghujung tahun. Di bulan September setiap tahunnya selalu berkeliaran isu mengenai PKI. Konon katanya di bulan ini komunis lakukan kudeta. Tahun 1965 adalah tahun sakral di negeriku.

Ku datang ke sekolahan. Di sekolah Pak Guru berkata jangan lupa nonton film Pengkhianatan G30S/PKI. Kata Pak Guru PKI itu kejam, memotong kelamin para jenderal, punya rencana kudeta. PKI itu komunis yang ateis. PKI ingin Indonesia jadi negara komunis.

Di sore hari televisi penuh dengan berita PKI. Awas PKI, bahaya laten komunis katanya. Tetanggaku berkata PKI itu jahat, ulama disiksa, tanah-tanah diambil.

Ku tidur larut malam, tapi orang tua berkata kamu harus nonton film kudeta PKI. Baik mamah, ujarku sembari menahan kantuk. Ku kaget Dewan Jenderal disilet oleh Gerwani sembari menari telanjang. Haus birahi katanya. Ku lihat Aidit merokok, sembari berkata Djawa adalah koentji.

Ah tidak semuanya jadi gelap. Tertiba berubah. Kulihat komunis-komunis itu tak tahu apapun tentang malam 30 September. Mereka dijebak, mereka dituduh oleh militer AD sayap kanan, musuh utamanya.

Ah tidak ada apa ini? Ku berjalan-jalan. Ku bertemu dengan RPKAD dan Kopkamtib. Mereka perintah orang-orang untuk bunuh komunis. Mereka beri orang-orang senjata. Mereka girang liat komunis dibunuh.

Adapula mereka komunis itu dibawa oleh truk. Mereka diinterograsi, lalu disetrum, disiksa dan diperkosa. Komunis-komunis tak berdosa itu ditahan. Mereka dibawa jauh ke Ujung Timur, Pulau Buru namanya.

Ku lihat tahanan itu. Mereka kurus-kurus, matanya melotot, wajahnya kusam dan penuh penderitaan. Ada rodi di sana, kayak zaman Londo. Mereka suruh kerja-kerja-kerja, bangun pos Angkatan Darat. Bangun infrasturkur katanya.

Ketika makan, kulihat mereka lahap nasi kering tak pakai lauk. Kadang pula mereka beruntung, dapat potongan ikan asin dan tempe. Tapi tunggu, ku lihat ada yang lahap ular dan tikus.

Ku jalan-jalan lagi, ku temui pelosok kamp tahanan. Terdapat wanita jerit-jerit. Wanita itu Gerwani. Ku lihat mereka diperkosa, oleh aparat. Mereka semua jadi hasrat pemuas penjaga tahanan. Mereka lalu disiksa. Ah tuan, hentikan saya lelah. Hentikan tuan, teriak Gerwani. Tertiba, mereka disiksa. Aku tak kuasa tahan tangis.

Ku pergi dari tempat tersebut. Ku lihat ada yang nangis-nangis. Dia telah cukup berumur. Ku datangi orang tersebut, dia nenek-nenek. Ku bertanya: ada apa nek? Mengapa nenek menangis. Nenek berbisik “aku rindu anakku, bagaimana nasibnya di Jawa. Siapa yang memberinya makan, bagaimana sekolahnya” ujar nenek.

Ku semakin tak bisa tahan tangis. Ku lihat orang-orang sekitar. Mereka semua frustasi dan berkata “apa salah kami jenderal, kami tak tahu apapun tentang malam 30 September” ujar mereka. Sang jenderal berkata “diam kamu komunis, kamu harus dibersihkan”ujar jenderal besar itu.

Ah tidak kok filmnya jadi gini. Bukannya PKI jahat? ternyata aku ketiduran. Mimpi apa aku semalam? Mengapa yang kulihat dalam mimpi komunis yang dibunuh? Mengapa yang kutangkap dalam tidur Jawa jadi lautan darah orang komunis? Mengapa ternyata komunis itu tak tahu apa-apa? Mengapa ternyata yang kudeta itu jenderal-jenderal?

Ayo bangun, ku bergegas ke kamar mandi. Basuh muka, lalu sikat gigi. Ku pergi baca-baca. Ku baca koran lama, buku-buku dan dokumen. Semuanya adalah sejarah yang memihak. Kebisuan sejarah. Politik sejarah. Jadi siapa yang kudeta?

Ternyata ini soal kuasa. Kuasa poltitk, kuasa sejarah, kuasa apalagi? Semuanya demi kuasa. Kuasa yang meminggirkan kemanusiaan!

--

--

Raka Putra Pratama

writer and socio worker | dive into digital marketing and popular culture in postmodern era