Aku Berada di Persimpangan
Sudah lama sekali tak menulis di sini, biasanya esai-esai tentang isu aktual atau pun tumpukan artikel perkuliahan dituangkan di sini. Banyak sekali waktu untuk menuangkan gagasan lewat tulisan saat itu. Kali ini, saya tak akan berbicara tentang isu atau fenomena dengan penuh analisa teoritis. Namun hanya ingin menuangkan apa yang terjadi pada saya selama hampir dua tahun ke belakang. Mari kita mulai dengan pertanyaan apakah transisi ruang dan waktu akan membuat idealisme seseorang luntur dan membawanya ke persimpangan?
Semua telah berubah begitu cepat tak terasa. Tibalah saya pada suatu realitas material yang dibayangkan. Bukan lagi cerita tentang mahasiswa idealis, buku-buku yang menumpuk, teori ekonomi politik kritis, eksistensi gerakan kampus atau pun utopia akademik. Melainkan tentang seorang yang berada antara himpitan idealisme dan realitas, berada di persimpangan yang ambivalen dan penuh ketidakpastian. Singkatnya saya menemukan diri yang hampir baru, yang bisa saja mengubur seluruhnya habitus lama atau pun membawanya ke dalam kemasan penyesuaian.
Hampir satu tahun lebih sebelumnya, saya berada dalam bayangan langsung modernitas kapitalisme lanjut. Menjadi manusia yang berorientasi material-pragmatis dan terikat secara struktural dalam masyarakat kapitalis perkotaan. Menjadi manusia kapital, mengabdi dalam keterhisapan oleh korporasi, mengais validasi, terbuai gaya hidup borjuis perkotaan, tenggelam dalam wacana kebudayaan populer, mengejar modernitas hingga membuka lembaran dalam disiplin pengetahuan baru tentang teori-teori ekonomi mikro borjuasi adalah hal yang melekat diri saya yang baru.
Transisi ruang dan waktu yang dilalui oleh saya nampaknya membuat identitas saya semakin berubah. Saya bukan lagi aktivis kiri atau pun demonstran yang mengejawantahkan idealismenya kepada negara dan masalah-masalah masyarakat sipil dengan analisa berbasis Marxian. Malu untuk mengakui bahwa saya telah tenggelam dan terbuai dengan bayangan material-pragmatis yang nampak di hadapan. Memutar rekognisi makna tentang hidup demi mencapai penyesuaian yang kiranya cukup normal.
Menghadapi realitas bahwa saya sedang mempersiapkan kemampanan untuk masa kini dan nanti. Mempersiapkan kekuatan materi untuk bertahan hidup -di dunia yang semu dan fana- merupakan hal yang wajar. Saya harus hidup sebagaimana harusnya makhluk ekonomi hidup. Sebagai makhluk ekonomi, saya terikat dengan sistem jual beli di pasar tenaga kerja yang membuat saya harus menjual kemampuan untuk mendapatkan nilai tukar atau uang. Mendapatkan uang kemudian memakainya bertahan hidup dan menggunakan kebertahanan hidup untuk mendapatkan uang, terus-terus dan terus berputar.
Hari demi hari yang dilewati memang membuat saya merasa seperti robot industri yang terus bekerja, beristirahat sejenak untuk kembali beraktivitas kerja-kerja kapital. Bisa dibayangkan bagaimana dibakukannya pekerja seperti saya dari jam 8 pagi hingga jam 5 sore? Hanya beristirahat di malam hari yang dipakai untuk tidur. Memang semuanya membosankan, ditambahkan lagi dengan tekanan pekerjaan dan pengikisan ruang dan waktu yang membuat saya semakin teralienasi. Namun apalah daya bahwa saya tidak bisa memberontak tentang itu semua. Perihal kenyataan struktural umat manusia yang tidak bisa saya lawan sendirian. Singkatnya, saya harus mengikuti sistem dan wacana ekonomi dominan.
Waktu saya semakin terkikis habis untuk bekerja. Bilamana keluar wacana dominan di usia yang semakin matang, saya tereksklusi masyarakat kapitalis. Mau tak mau saya harus menjalani semuanya. Menjalani semua pembakuan sistemis tentang siklus manusia dewasa: mencari uang, mendapatkan pasangan dan mewariskan keturunan untuk hidup seterusnya dalam lingkaran setan kehidupan. Tiada revolusi yang diidam-idamkan. Haduh, sudahlah.
Dalam pengamatan inderawi terhadap dunia saya yang baru, mata saya berpacu pada modernitas masyarakat kapitalis perkotaan. Melihat hiruk-pikuk jalanan perkotaan, berkomuter kelas pekerja, mengais validasi atasan, side hustle, menghabiskan uang untuk gaya hidup borjuasi kelas menengah, membeli pakaian secara cuma-cuma, kebudayaan populer tentang film-film terbaru atau pun konser musik indie yang tiada hentinya. Tiada henti saya berkunjung ke kedai kopi dengan pesanan yang itu-itu saja, melihat gadis-gadis di mall, berjalan-jalan malam ke taman kota hingga bertamasya dengan wacana bullshit percintaan. Sudah, hentikan.
kadang saya bingung dengan apa yang saya lalui saat ini, mengapa saya menjadi begitu berbeda. Apakah saya mengalami krisis identitas atau transisi identitas dengan kemasan penyesuaian? Dulu saya adalah orang yang malas terlibat dengan wacana kebudayaan populer atau pun sangat berorientasi pada kegilaan material seperti sekarang. Dalam lubuk hati yang paling dalam saya hanya ingin ketenangan tapi di sisi lain harus bersiap untuk mengakumulasi materi untuk kebertahanan hidup. Mau tak mau saya harus terjun seperti sekarang. Terlibat dalam persaingan ketat sistem ekonomi kapitalis untuk terus menerus bekerja, mendapat uang dan bertahanan.
Apakah dengan semua ini, idealisme dan pemaknaan saya dulu tentang masyarakat yang ‘sesungguhnya’ telah berakhir? sudah seharusnya beralih dari semua itu demi keberhadapan saya untuk bertahan hidup. Saya tidak ingin menjadi mahluk yang utopis dan merenung di atas menara ganding. Kini saya berada di persimpangan antara idealisme dan realitas, mengikuti jalan cerita yang baru ini.